Rabu, 09 November 2011

CANDI PENINGGALAM KERAJAAN MATARAM LAMA II

B. Candi Yang Bersifat Budha

Candi Borobudur:
Borobudur merupakan salah satu keajaiban dunia yang berada di Indonesia. Bangunan kuno ini begitu banyak menyimpan sejarah. Mulai dari sejarah dibangunnya hingga terbenam akibat letusan gunung berapi dan pada akhirnya ditemukan kembali ke permukaan. Saya memposting artikel ini terinspirasi dari salah satu komentar yang bertanya “Siapa yang membangun Borobudur?”. Sebenarnya sejarah ini banyak diceritakan dalam buku dan di dunia maya. Berikut Sejarahnya: Borobudur terletak di pulau Jawa, berjarak 40 km sebelah barat laut kota Yogyakarta, Bangunan kuno ini merupakan stupa tertua dan juga kompleks stupa terbesar di dunia. Namanya tercatat sebagai pewarisan budaya dunia oleh UNESCO dan dianggap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Borobudur didirikan pada abad ke 8 dan 9, kemungkinan oleh dinasti Syailendra yang kala itu memerintah pulau Jawa, pembangunan proyek tersebut berlangsung selama 75 tahun.
Konon raja Asoka-India pernah membagi relik (salira) dari Buddha Sakyamuni menjadi 84.000 butir dan menyebarkan serta menguburnya di seluruh pelosok dunia. Demi menyimpan sarira asli dari Buddha Sakyamuni, kerajaan Syailendra telah memobilisasi beberapa puluh ribu orang, barulah menyelesaikan bangunan indah nan megah dan berskala besar tersebut. Borobudur berbentuk piramida berundak, terbagi atas 9 lapis lantai, 6 lantai bagian bawah berbentuk platform bujur sangkar, lingkaran terluarnya dipenuhi dengan galeri relief, merupakan gudang pusaka seni pahat yang tersohor di dunia, dengan panjang seluruhnya mencapai 2,5 km, sehingga Borobudur bersama dengan piramida Mesir, Tembok Besar-Tiongkok dan Angkor Wat-kambodja dinamakan sebagai 4 keajaiban kuno dari timur. Ia tersusun oleh 1.600.000 buah batu cadas gunung berapi dan dibangun di atas bukit cadas kerdil dengan 265 m ketinggian dari atas permukaan laut, adalah stupa Buddha tunggal terbesar di dunia. Asal muasal nama “Borobudur” diperkirakan dari bahasa Sansekerta yakni “Vihara Buddha Ur”, yang bermakna “kuil Buddha dari puncak gunung”.
Sebuah patung Buddha dengan posisi simpul tangan/mudra: Mudra Memutar Roda Hukum / Dharmacakramudra. (wikipedia)

Saat Ditemukan
Pada 1006 dalam sebuah letusan dahsyat gunung berapi, Borobudur terkubur di bawah berlapis-lapis abu gunung berapi, situs kuno agama Buddha yang terkubur dan terlelap dalam tidurnya hingga pada suatu hari di tahun 1814 baru ditemukan kembali dari balik lebatnya hutan belantara tropis. Kala itu Raffles wakil gubernur Inggris untuk Jawa yang sedang menduduki pulau Jawa, mendengar cerita para pemburu dan penduduk tentang sebuah candi besar yang tersembunyi di dalam hutan belantara, maka ia mengutus insinyur WN-Belanda untuk melakukan survey, akhirnya Borobudur melihat kembali sinar sang surya. Pada 1973 melalui bantuan Unesco, yang melancarkan restaurasi berskala besar barulah Borobudur memancarkan wajahnya seperti yang terlihat hari ini.Kenapa Borobudur 100 tahun setelah selesai dibangun orang-orang Jawa tidak berkunjung lagi ke tempat tersebut, bahkan telah mencampakkan komplek tersebut, hingga kini masih saja merupakan sebuah misteri.Relief Menunjukkan Taraf Alam Tiga Dunia. Karakter manusia di dalam tiga dunia agama Buddha, Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu yang terpampang pada relief.

Candi Kalasan:
Sedulur yang sering melewati jalan Surakarta-Yogyakarta, pasti terbiasa disuguhi dengan pemandangan candi di pinggir jalan menjelang masuk Kota Yogyakarta. Yang paling diingat pasti Candi Prambanan, karena candi itu memang besar dan terkenal, baik di dunia nyata maupun di dunia legenda. Tentunya banyak yang pernah membaca cerita legenda Rara Jonggrang, seorang putri raja yang menipu pagi karena enggan dipersunting Prabu Baka yang walaupun seorang raja adalah musuh sang putri karena telah menahlukkan kerajaan sang putri bahkan telah membunuh raja, ayah dari sang putri malang si Rara Jonggrang itu. Dari Candi Prambanan, bilamana sedulur melanjutkan perjalanan menuju ke arah Yogyakarta, sesampainya di Desa Kalasan, tidak begitu jauh lagi bersiaplah untuk menengok ke sebelah kiri. Ada sebuah candi kecil yang masih berdiri megah di sana. Dari awal penemuannya pada tahun 1806 oleh Cornelius (foto pertama tahun 1900 oleh Cephas), Candi Kalasan belum pernah dipugar secara total, alias masih berdiri utuh walaupun banyak kerusakan di sana-sini yang sebagian sudah berhasil diperbaiki pada pemugaran tahun 1939-1940.
Menurut catatan dari Prasasti Kalasan yang menggunakan bahasa Sansekerta dengan huruf Prenagari, dengan tanda tahun 700 Caka/778M, Candi Kalasan dibangun pada masa Raja Panangkaran sebagai sebuah kuil yang dipersembahkan untuk Dewi Tara dengan nama Kuil Tarabhawana. Disebutkan pula bahwa di dekat Candi Kalasan itu (500 meter ke arah timur laut) didirikan Asrama Pendeta Budha. Mungkin mirip-miriplah dengan pola pondok pesantren. Candi Kalasan bercorak Budha dengan pola hias utama sulur gelung. Pahatannya terhitung sangat halus dan detail, bahkan pada beberapa bagian dilapisi dengan bajralepa, semacam semen. Di candi ini, terdapat 52 stupa yang sekarang sudah tidak semuanya utuh baik bentuk maupun jumlahnya. Terdapat empat pintu di masing-masing sisinya dengan pintu utama di sisi timur. Sayang sekali, tangga candi sudah sangat rusak sehingga hanya tertinggal sedikit saja sisa tangga untuk menuju pintu-pintunya. Sekilas, bentuk Candi Kalasan mirip dengan Candi Mendut, namun sedikit lebih besar. Ukurannya; tingginya mencapai 24 meter dengan rincian batur = 1 meter, kaki = 3 mater, tubuh candi setinggi 13 meter, dan atap setinggi 7 meter. Sedangkan penampangnya berukuran 16,5 x 16,5 meter.


Candi Sari:
Candi Sari, candi yang terletak sekitar 500 meter di timur-laut Candi Kalasan. Tidak seperti Candi Kalasan, Candi Sari terletak agak ke dalam, sehingga tidak terlihat dari pinggir jalan raya Jogja-Solo. Untuk mencapai ke sana tidaklah susah, di samping sebuah masjid berasitektur mirip gedung Kremlin di Rusia dan Rumah Makan Ayam Bakar Kalasan “Mbok Berek”, ada gang kecil ke utara. Ikuti jalan tersebut kemudian akan sampai di kompleks Candi Sari. Candi yang terletak di Desa Bendan, Kelurahan Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman ini diperkirakan masih satu kawasan dengan Candi Kalasan. Hal ini ditunjukkan oleh faktor jarak yang relatif dekat, penggunaan bajralepa, dan kemiripan corak relief-reliefnya. Pun candi ini diperkirakan dibangun pada masa yang sama dengan Candi Kalasan. Sayang sekali tidak ada pemandu yang akan menemani disana. Kondisi kompleks ini juga sangat memprihatinkan, padahal seharusnya candi cagar budaya yang pemeliharaannya merupakan tanggung jawab Dinas Purbakala ini bisa dijadikan potensi wisata alternatif. Candi ini menghadap ke timur, sama dengan arah Candi Kalasan. Di sekitar candi terdapat batu-batuan bagian candi yang tidak dapat disusun kembali. Beberapa bagian candi bahkan diganti batunya karena tidak ditemukannya batuan penyusunnya
.
Secara fisik, candi ini berbentuk balok dengan panjang dan tinggi 17 meter dan lebar 10 meter. Bangunan candi terdiri atas 3 bagian, bagian kaki, tubuh, dan atap. Bagian kaki berupa batu-batuan yang disusun karena diperkirakan pada bagian kaki ini banyak batu-batuan yang hilang. Sekilas, ada semacam jalan memanjang di depan pintu candi dengan hiasan Makara (hiasan kepala ular) di kanan-kirinya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bekas jalan memanjang di depan pintu candi. Badan candi terdiri dari 3 bagian. Pintu masuk berada di tengah dan di kanan kiri berupa jendela berbentuk bujur sangkar. Diperkirakan candi ini terdiri atas 2 tingkat, karena ditemukan semacam pemisah di tengah-tengahnya. Pintu masuk candi dihiasi hiasan Kala pada bagian atas dan pada bagian bawah terdapat ukiran gajah. Ada 3 ruang berukuran sekitar 3×5 meter. Di ruang tengah, di kanan dan kiri dinding terdapat relung yang kosong. Diperkirakan di relung-relung tersebut terdapat patung Budha namun kini telah hilang. Bila mendongak ke atas, akan menemukan celah-celah semacam dudukan kayu. Diperkirakan candi ini juga menggunakan kayu sebagai unsur penyusunnya. Hal ini dibuktikan dengan celah-celah dudukan pada bagian atas yang diperkirakan merupakan lantai atas bangunan yang terbuat dari balok-balok kayu yang disusun berjajar. Selain digunakan sebagai penyusun lantai atas, kayu diperkirakan juga digunakan sebagai penyangga karena ditemukan beberapa lubang tempat dudukan kayu. Di beberapa jendela juga terdapat lubang-lubang di bagian atas dan bawah yang diperkirakan menggunakan kayu sebagai jerujinya. Ruangan-ruangan inilah yang ditengarai digunakan sebagai tempat tinggal (asrama) para pendeta Budha (biksu). Selain tempat tinggal, konon candi ini digunakan sebagai tempat menimba ilmu dan meditasi dan jika akan beribadah para biksu menuju ke Candi Kalasan.

Di tiap sisi, terdapat sepasang relief Bodhisatva dan Dewi Tara, di kanan kiri jendela berbentuk bujur sangkar, di atas dan bawah. Jumlah total relief arca ini ada 36 buah, masing-masing berjumlah 8 arca di sisi timur, selatan, dan utara, sedangkan pada sisi barat (belakang candi) terdapat 12 arca. Arca-arca ini digambarkan dengan posisi berdiri dengan membawa bunga teratai dengan sikap lemah gemulai yang disebut dengan sikap tribangga. Ekspresi wajah arca-arca ini sangat tenang dan pakaian yang dikenakan sederhana, mencerminkan sikap hidup Budha yang sederhana. Ada pahatan lain selain arca yang menghiasi kanan-kiri jendela. Sepasang makhluk berwujud setengah manusia dan setengah burung ini disebut dengan Kinara-Kinari. Ukiran-ukiran berupa sulur-sulur bunga yang keluar dari pot juga kami temukan di dinding candi ini terutama di bagian barat. Ukiran sulur-sulur ini sama dengan ukiran yang ada di Candi Kalasan. Atap candi terdiri atas 9 buah stupa dengan masing-masing berjumlah 3 buah berderet di atas ruangan. Hiasan berupa Kalamakara juga dapat kita temukan di bagian atap. Terdapat lubang bekas pancuran yang disebut dengan Jaladwara berupa raksasa duduk di atas ular yang mana mulut ular tersebut tempat air mengalir keluar. Untuk membedakan antara bagian badan dengan atap candi, terdapat hiasan berupa segitiga berukir. Secara keseluruhan, bangunan candi yang ditemukan pada tahun 1929 ini unik. Berbentuk ramping persegi panjang ditunjang dengan banyaknya ukiran dan penggunaan Bajralepa, membuat candi ini tampak indah, sesuai dengan arti namanya, Candi Sari yang berarti candi yang indah.



Candi Banyonibo:
Tidak banyak yang tahu soal keberadaan candi ini. Lokasinya yang terpencil, akses jalan yang rusak, membuat candi eksotis ini kurang dikenal. Padahal candi Budha ini masih berdiri megah dan reliefnya masih banyak yang utuh. Candi Banyunibo terletak sekitar 2 km sebelah tenggara petilasan Ratu Boko, tepatnya di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman. Untuk mencapainya cukup mudah sebenarnya. Dari Jalan Raya Jogja-Solo, ketika sampai di pertigaan Prambanan, berbelok ke selatan sekitar 2 km ke arah Piyungan. Kemudian berbelok pada plang petunjuk ke arah petilasan Ratu Boko. Ikuti saja petunjuk ke arah Candi Ratu Boko tersebut sampai mentok perempatan. Ketika sampai di perempatan, akan ada petunjuk jika belok kiri ke arah Boko, maka ambil jalan lurus. Setelah itu akan ada petunjuk ke arah Candi Barong dan Candi Banyunibo. Ambil arah kanan jika ingin ke Candi Banyunibo.

Banyunibo sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “banyu” dan “nibo” yang berarti “air yang menetes”. Entah kenapa candi ini disebut seperti itu, tapi kalo menurut pengamatan dan analisis para budayawan, bentuk atap candi yang terdiri dari sebuah stupa ini mirip-mirip dengan bentuk air ketika menetes dan terpercik ke samping. Dari puing-puing di sekitar, diperkirakan ada 6 buah candi perwara (candi pendamping) berbentuk stupa di sekeliling candi utama di sebelah selatan dan timur. Candi utama menghadap ke barat dan terletak di antara ladang tebu dan persawahan. Inilah sebabnya candi ini dijuluki “si sebatang kara Banyunibo” karena letaknya yang terpencil dan terpisah dari kompleks candi-candi lainnya. Terdiri dari 3 susunan seperti biasa, kaki, badan, dan atap. Bagian kaki yang tingginya sekitar 2,5 m ini dihiasi relief ornamen sulur-sulur yang keluar dari pot. Kemudian antara kaki candi dan badan candi pada sisi selatan, timur, dan utara terdapat Jaladwara (saluran air) berbentuk Makara dengan hiasan Kala di atasnya tepat di tengah-tengah. Untuk berekeliling badan candi, terdapat selasar mengelilingi badan candi.

Seperti biasa, di tangga masuk kita akan menemukan Makara. Pada bagian depan pintu, terdapat 2 jendela tepat di samping pintu dan 2 relief patung dewa di sebelah kanan-kiri jendela. Ada 2 hiasan Kala di atas pintu masuk. Pada lorong pintu, kita akan menjumpai 2 buah relief pada kanan-kiri dinding lorong. Pada dinding sebelah kiri (utara) kita akan menemukan relief seorang wanita yang dikelilingi oleh banyak anak kecil, beberapa di antaranya digambarkan sedang naik pohon. Sedangkan pada sebelah kanan dinding (selatan), alias di depan relief Dewi Hariti, terdapat relief seorang pria dengan sebuah kantong di sisinya serta seekor burung terbang di atasnya. Kalo menurut saya, relief ini menggambarkan kekayaan. Masuk ke dalam ruangan, di sudut sebelah tenggara dekat jendela, ada relief seorang pria yang sedang duduk di bawah payung yang dipegang pengawalnya. Diduga pria ini, yang melihat potongannya merupakan seorang biksu, tokoh yang dihormati di candi ini. Ruangan candi berukuran sekitar 10 x 10 m dengan 8 jendela (sebagian jendela tertutup) dan ada 3 buah relung dangkal pada sisi utara, timur, dan selatan. Pada relung sisi timur, terdapat semacam ukiran tapi ndak jelas ukiran apa itu. Melalui selasar, kita bisa menikmati relief-relief penghias dinding candi. Pada dinding terdapat relief-relief Bodhisatva berdiri gagah membawa tongkat. Pada bagian atas jendela bagian luar, terdapat relief Bodhisatva sedang duduk bersila dengan posisi tangan ke atas membawa bunga di bawah Kala
.
Ada gambar Gana, makhluk kerdil dari kahyangan yang dapat ditemukan pada bagian atap Candi Kalasan, menyokong hiasan Kala pada relung sisi selatan pada bagian depan. Atap candi sangat polos. Hanya terdiri atas sebuah stupa pada bagian tengah yang berada di atas bentuk daun bunga padma. Batas antara atap dan badan hanya dipisahkan oleh ukiran ornamen sulur-sulur bunga. Secara bentuk, candi ini bisa dibilang cukup kokoh dan utuh. Mengingat kondisi candi ini dalam keadaan runtuh ketika pertama kali ditemukan. Candi ini pun mulai digali dan diteliti pada tahun 1940-an. Di sebelah utara candi, terdapat tembok batu sepanjang 65 m membujur dari barat ke timur. Reruntuhan candi perwara berupa stupa diperkirakan berdiameter sekitar 5 m. Di halaman candi juga ditemukan beberapa patung berbentuk lembu. Candi ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-9. Dan tentu saja, dari bentuk stupa dan relief-reliefnya, candi ini merupakan candi Budha. Candi utama bila dilihat sekilas berbentuk kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi sekitar 15 m.


Candi Sajiwan:


Candi Plaosan:
Candi Plaosan adalah sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu atau Candi Prambanan. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi tersebut adalah candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul.
Candi Plaosan Lor
Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di sebelah kiri (di sebelah utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang menggambarkan tokoh-tokoh wanita, dan candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamakan Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks terdapat masih selasar terbuka dengan beberapa arca buddhis. Kedua candi induk ini dikelilingi oleh 116 stupa perwara serta 50 buah candi perwara, juga parit buatan. Pada masing-masing candi induk terdapat 6 patung/arca Dhyani Boddhisatwa. Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara agama Buddha dan Hindu. Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan dipugar pada tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

Candi Plaosan Kidul
Berbeda dari Candi Plaosan Lor, Candi Plaosan Kidul belum diketahui memiliki candi induk. Pada kompleks ini terdapat beberapa perwara berbentuk candi dan stupa. Sebagian di antara candi perwara telah dipugar. Candi Plaosan Kidul terdiri dari dua bangunan utama. Sebagian dari Kala Makara didekorasi dengan antefixe dan pintu masuk, yang dihiasi dengan motif tumbuh-tumbuhan.
Salah satu candi Budha kembar utama Plaosan Lor, di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah dari dinasti Sailendra abad ke-9 zaman Kerajaan Mataram Kuno. (Gambar: 1). Candi Plaosan Lor yang berada di sebelah timur-laut dari candi Prambanan. (Gambar: 2)
Candi Plaosan Kidul. (Gambar: 3)


Candi Sewu:
Masih terdapat di Obyek Wisata Candi Prambanan, di ujung sebelah utara terdapat Candi Sewu. Candi Sewu ini jarang disinggahi wisatawan yang berkunjung ke Candi Prambanan karena jarak tempuh ke Candi Sewu ini sejauh 800 meter ini cukup melelakan bila ditempuh dengan berjalan kaki. Candi Sewu adalah candi buddha yang dibangun pada abad ke-8. Merupakan komplek candi Buddha terbesar kedua setelah candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada candi Prambanan. Sebenarnya hanya terdapat 257 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan Candi “Sewu” yang berarti “seribu” dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang. Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli bangunan ini adalah “Manjus’ri grha” (Rumah Manjusri). Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 – 784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama.
Suasana Candi Sewu tampak sepi pengunjung, cukup wajar mengingat wisatawan yang datang ke candi ini kebanyakan menggunakan kereta wisata yang berhenti sebentar untuk mengambil foto di luar kompleks candi. (Gambar: 1).
Memasuki gerbang masuk candi Sewu, disebelah kiri dan kanan terdapat Arca Dwarapala, yang merupakan raksasa penjaga candi. Kondisi arca masih terawat dengan baik walaupun ada beberapa bagian yang mengalami pelapukan.

Candi Bubrah:
Candi Bubrah adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara candi utama Roro Jonggrang dan candi Sewu. Dinamakan Bubrah karena memang keadaannya rusak (bubrah dalam bahasa Jawa) sejak pertama kali ditemukan. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan candi Sewu. Candi ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis batu andesit, dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat pertama kali ditemukan masih terdapat beberapa patung Buddha, walaupun tidak utuh lagi.
Reruntuhan Candi Bubrah.

Candi Lumbung:
Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha) yang dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.




Candi Asu:
Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, Kecamatan dukun, Kabupaten magelang, provinsi Jawa tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari Candi ngawen. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi
Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu 'anjing'. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk
setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata Candi prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat.
Perlu diketahui nama Asu pada candi ini bukan berasal dari kata asu dalam Bahasa Jawa ngoko yang berarti anjing. Kata asu adalah hasil perubahan kebiasaan pengucapan masyarakat setempat dari kata aso atau mengaso yang berarti istirahat. Candi Asu ini memiliki ukuran relatif kecil dibandingkan dengan Candi Borobudur ataupun Prambanan, dan berbentuk bujur sangkar. Di dekat candi itu juga ditemui Candi Pendem dan Candi Lumbung yang memiliki ukuran dan bentuk relatif sama. Uniknya di ketiga bangunan candi ini, di dalamnya terdapat lubang semacam sumur sedalam hampir dua meter dengan bentuk kotak berukuran sekitar 1,3 meter x 1,3 meter.
Menurut arkeolog Soekmono seperti dikutip dari buku Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, sumur itu digunakan sebagai tempat pemujaan. Pemujaan tersebut bisa ditujukan kepada seorang tokohtertentu atau arwah seorang raja. Masih menurut buku itu, berdasarkan Prasasti Kurambitan I dan II yang ditemukan dekat situs Candi Asu, ketiga candi ini didirikan tahun 869 Masehi. Kedua prasasti ini dikeluarkan Pamgat Tirutanu Pu Apus yang menyebut ketiga bangunan itu sebagai bangunan suci atau Salingsingan.
Yang menarik perhatian, hanya beberapa meter di selatan Candi Asu juga terdapat Sungai Tlingsing. Menurut buku Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, nama Tlingsing mungkin bisa berasal dari kata talingsing atau salingsing yang bisa diidentikkan dengan nama
Salingsingan. Namun yang pasti, berdiri di atas bangunan Candi Asu seperti melihat
permadani hijau. Sekeliling situs dipenuhi kebun sayur-sayuran. Suara alam berupa kicau burung pun memenuhi ruang sekitar candi. Namun, sumur di candi ini tidak seperti ditemui di Candi Pendem dan Asu yang kosong. Sumur di candi ini dipenuhi reruntuhan kubah candi.
Memang menurut Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, ketiga bangunan candi ini diperkirakan memiliki kubah. Meski kini pada Candi Pendem dan Asu, kubah itu sudah tidak terlihat lagi.
Candi Asu. (Gambar: 1)

Candi Ngawen:  (Candi yang di buat oleh raja yang beragama Hindu, tapi diperuntukan untuk umat Budha).
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M. Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen. (Gambar: 1)

Candi Mendut: (lebih tua dari Candi Borobudur. Ada cerita untuk anak-anak pada dinding-dindingnya).
Candi Mendut terletak 3 km ke arah timur dari Candi Borobudur, merupakan candi Budha yang dibangun tahun 824 Masehi oleh Raja Indera dari wangsa Syailendra. Di dalam Candi Mendut terdapat 3 (tiga) patung besar.
  1. Cakyamuni yang sedang duduk bersila dengan posisi tangan memutar roda dharma.
  2. Awalokiteswara sebagai Bodhi Satwa membantu umat manusia
    Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.
  3. Maitreya sebagai penyelamat manusia di masa depan
Ada cerita untuk anak-anak pada dinding-dindingnya. Candi ini sering dipergunakan untuk merayakan upacara Waisak setiap Mei pada malam bulan purnama dan dikunjungi para peziarah dari Indonesia maupun manca negara. Candi ini lebih tua dari Candi Borobudur. Arsitekturnya persegi empat dan mempunyai pintu masuk di atas tangganya. Atapnya juga persegi empat dan bertingkat-tingkat, ada stupa di atasnya.