PEMBAHASAN
A. Kitab Suci Buddha (Tipitaka)
Tipitaka adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pāli. Terdiri dari Sutta-ajaran konvensional, Vinaya- kode disiplin, dan Abhidhamma- psikologi moral.
Tipitaka dihimpun dan disusun dalam bentuknya seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak langsung dengan Sang Guru sendiri.
Sang Buddha wafat, namun Dhamma luhur yang ia wariskan secara terbuka kepada manusia tetap hidup dalam kemurniannya. Walaupun Sang Guru tidak meninggalkan catatan tertulis tentang ajaran-Nya, murid-murid-Nya yang terkemuka melestarikannya dengan jujur secara ingatan dan menurunkannya secara oral dari generasi ke generasi.
Segera setelah Sang Buddha wafat, 500 Arahat terkemuka mengadakan suatu sidang yang dikenal sebagai Dewan Buddhis Pertama untuk menyusun kembali doktrin yang diajarkan Sang Buddha. Yang Ariya Ananda, pendamping setia Sang Buddha yang berkesempatan khusus mendengarkan semua ceramah yang pernah dibabarkan Sang Buddha, menuturkan Dhamma, sementara Yang Ariya Upali menuturkan Vinaya, aturan tingkah laku Sangha.
Seratus tahun setelah Dewan Buddhis Pertama, pada masa Raja Kalasoka, sebagian murid memandang perlu untuk mengubah beberapa aturan kecil. Bhikkhu yang ortodoks berkata bahwa tidak ada yang perlu diubah sementara yang lain bersikeras untuk memodifikasi beberapa aturan disiplin (Vinaya). Akhirnya, tumbuhlah tradisi yang berbeda-beda setelah dewan ini. Dalam Dewan Buddhis Kedua, hanya hal-hal yang menyangkut Vinaya yang dibahas dan tidak ada kontroversi yang dilaporkan tentang Dhamma.
Pada abad ke-3 SM, selama masa Kaisar Asoka, Dewan Buddhis Ketiga diselenggarakan untuk membahas perbedaan-perbedaan pendapat yang dianut oleh komunitas Sangha. Dalam dewan ini perbedaan itu tidak dibatasi pada Vinaya, tetapi juga menyangkut Dhamma. Pada akhir dewan ini, Ketua Dewa, Yang Ariya Moggaliputta Tissa, menyusun sebuah buku yang disebut Kathavatthu yang menolak pandangan dan teori yang keliru dan murtad yang dianut sebagian murid. Ajaran itu disepakati dan diterima oleh dewan ini yang dikenal sebagai Theravada atau ‘Jalan Para Sesepuh’. Abhidhamma Pitaka dibahas dan dimasukkan dalam dewan ini. Dewan Buddhis Keempat diadakan di Sri Lanka pada tahun 80 SM di bawah perlindungan Raja Vattagamini Abbaya yang bajik. Pada masa ini di Sri Lanka Tipitaka untuk pertama kalinya dituliskan.
Harus ditekankan bahwa sementara penulisan berlanjut, tradisi dasar secara oral tetap dipertahankan. Setiap aspek ajaran dipertahankan dan dijunjung tinggi dalam ingatan daripada dalam catatan tertulis. Itulah sebabnya para murid dikenal sebagai pendengar, Savaka. Dengan mendengarkan, mereka mempertahankan ajaran dalam tradisi oral selama lebih dari 2.500 tahun.
SEJARAH PENULISAN KITAB SUCI TIPITAKA
VATTAGAMANI (43 tahun sebelum Masehi)
Ketika ituSri Lanka diperintah oleh Raja Vattagamani. Baru saja memerintah lima bulan, Brahmana Tissa yang tinggal di Rohana memberontak. Bersamaan dengan itu, datang tujuh orang Tamil dari India dengan balatentara mereka. Tissa sangat kuat, sehingga Vattagamani tidak berani menghadapinya di medan perang.
Menurut Sammohavinodani :
Brahmana Tissa menyerbu.Para bhikkhu bersidang dan mengirim delapan thera kepada Dewa Sakka untuk meminta bantuan mengatasi pemberontakan itu. Sakka, raja para dewa, menjawab : 'Para Ariya, pemberontakan tidak mungkin ini bisa diatasi. Sebaiknya para bhante pergi ke negeri lain. Saya akan melindungi selama perjalanan di laut'.
Selain kesengsaraan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu, bencana alam pun menimpa negeri. Selama dua belas tahun, timbul bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah (Samyuttanikaya Atthakatha II-iii).
Vihara di Anuradhapura ditinggalkan dan para bhikkhu mengungsi keIndia ataupun bersembunyi ke pegunungan.
PENDERITAAN SELAMA BENCANA
Menurut Sammohavinodani, para bhikkhu dari segenap penjuru akhirnya berkumpul di Jambukola-pattana di Pulau Nagadipa (pulau kecil diBarat-Laut Sri Lanka ), untuk berusaha menyeberang ke India . Tiga orang Thera Samyuttabhanaka (yang mahir dalam Samyuttanikaya) masing-masing bernama Culasiva, Isidatta dan Mahasena memimpin pertemuan itu.
Dengan menyadari kemampuan Mahasena untuk melindungi Buddhasasana di masa yang akan datang, kedua thera yang lain menyarankan agar beliau pergi ke negeri seberang dan baru kembali setelah bencana usai. Karena Culasiva dan Isidatta tidak mau ikut menyeberang, Mahasena menolak saran itu dan memutuskan untuk tetap tinggal diSri Lanka juga. Akhirnya Culasiva meminta kepada Isidatta agar melindungi Mahasena sebaik mungkin. Culasiva Thera pulang kembali ke Mahacetiya. Ternyata Mahavihara sudah kosong, pohon-pohon liar sudah menutupi halaman, bahkan Mahacetiya sendiri tertutup semak belukar. Karena itu Culasiva pergi ke sebuah tempat di tepian Sungai Jaggara. Orang-orang di sana bertahan hidup dengan memakan daun-daunan. Beliau pun tinggal di sana sampai keadaan menjadi lebih baik. (Sammohavinodani 446, 447).
Isidatta dan Mahasena juga sangat menderita. Setelah mengembara terlunta-lunta, mereka tiba di Alajanapada. Penduduk di sini membelah biji buah 'madhu' dan memakan isinya. Kedua thera itu mengambil bagian luarnya yang tersisa, dan memakannya. Selama satu minggu hanya itulah makanan yang tersedia. Dalam kesempatan selanjutnya mereka bertahan hidup dengan memakan batang bunga bakung dan juga bonggol pohon pisang. (Sammohavinodani 447, 448).
Kisah bhikkhu yang lain, bernama Vattabaka Nigrodha lebih mengenaskan.
Bersama gurunya yang sudah uzur, beliau berkelana dari tempat ke tempat dengan secuil makanan. Bencana kelaparan pada saat itu sudah sangat gawat sehingga orang bahkan ada yang memakan daging manusia. Thera yang sudah sangat lanjut usia itupun menjadi salah satu korban mereka. Untunglah Nigrodha berhasil lolos. (Sammohavinodani 449, 450).
Tidak terhitung banyaknya orang yang mati, baik para bhikkhu maupun umat awam. Di Vihara Tissamaharama dan Cittalapabatavihara sebenarnya dahulu tersimpan beras yang cukup untuk tiga tahun, namun semuanya habis diserbu tikus. Dua belas ribu Arahat dari masing-masing vihara pun berangkat dengan maksud mengungsi ke vihara yang lain. Di tengah jalan mereka bertemu dan setelah mendengar kisah masing-masing, mereka akhirnya masuk ke hutan dan memilih untuk meninggal disana , karena mengetahui sudah tidak ada gunanya lagi untuk kembali ke vihara. (Sammohavinodani).
Seorang theri bernama Naga, ditinggalkan bersama para bhikkhuni lainnya di vihara mereka di Desa Bharatagama.Para penduduknya habis lari mencari tempat yang lebih baik. Mereka mungkin tidak sempat memberitahukan kepergiannya kepada para bhikkhuni tersebut, atau tidak sampai hati menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk menanggung kehidupan para bhikkhuni tersebut pada masa bencana menimpa. (Manorathapurani).
Para thera lain yang disebut-sebut hidup pada masa itu adalah Tissabhuti, Sumanadeva, Phussadeva dan Upatissa.
Tissabhuti tinggal di Vihara Mandalarama di Desa Kalakagama. Di dalam Manorathapurani diriwayatkan bahwa bhikkhu ini pernah melihat seorang wanita dan kemudian pikiran kotor merasuki batinnya. Ia pun bergegas pulang ke <ivihara, menghadap gurunya Malayavasi Mahasangharakkhita Thera dan mendapat petunjuk untuk meditasi. Ia pun bertekad untuk menghapus pikiran kotornya, bahkan bila gagal ia nekad akan mengakhiri hidupnya. Ia pun pamit kepada gurunya sambil berulang-ulang memberi hormat. Gurunya bertanya heran, dan Tissabhuti menjawab : 'Syukurlah kalau saya berhasil. Namun kalau gagal, inilah penghormatan saya yang terakhir kepada guru.'
Tissabhuti pergi menyendiri dan menjalankan meditasi sesuai petunjuk gurunya. Akhirnya iia berhasil dan menjadi Arahat.
Cerita lain tentang Tissabhuti terdapat dalam Atthasalini.
Pada suatu hari ia menjelaskan bahwa tempat Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi di Buddha Gaya adalah 'nidana' (tempat asal) diajarkannya Abhidhamma Pitaka. Thera Sumanadeva dari Gama ketika itu sedang mengajarkan dhamma di bagian bawah Istana Kuningan. Thera Sumanadeva mendengar hal ini dan menyebut Tissabhuti sebagai seorang 'paravadi' (yang keliru), yang tidak mengetahui 'nidana' dari Abhidhamma. Beliaupun kemudian menjelaskan keterangan yang benar tentang riwayat Buddha mengajarkan Abhidhamma di kaki sebatang Pohon Paricchattaka di Tavatimsa, surga para dewa. (Atthasalini 30, 31).
Kedua thera yang lain, Phussadeva dan Upatissa berguru kepada orang yang sama. Selama masa bencana kelapan keduanya teguh berupaya melindungi Vinaya Pitaka. (Samantapasadika I-263).
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna ) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan diMandalay (Burma ) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay .
Persamuan Agung keenam diadakan diRangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang diIndia dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negaraSrilanka , Burma , Thailand , dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
Ketika itu
Menurut Sammohavinodani :
Brahmana Tissa menyerbu.
Selain kesengsaraan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu, bencana alam pun menimpa negeri. Selama dua belas tahun, timbul bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah (Samyuttanikaya Atthakatha II-iii).
Vihara di Anuradhapura ditinggalkan dan para bhikkhu mengungsi ke
PENDERITAAN SELAMA BENCANA
Menurut Sammohavinodani, para bhikkhu dari segenap penjuru akhirnya berkumpul di Jambukola-pattana di Pulau Nagadipa (pulau kecil di
Dengan menyadari kemampuan Mahasena untuk melindungi Buddhasasana di masa yang akan datang, kedua thera yang lain menyarankan agar beliau pergi ke negeri seberang dan baru kembali setelah bencana usai. Karena Culasiva dan Isidatta tidak mau ikut menyeberang, Mahasena menolak saran itu dan memutuskan untuk tetap tinggal di
Isidatta dan Mahasena juga sangat menderita. Setelah mengembara terlunta-lunta, mereka tiba di Alajanapada. Penduduk di sini membelah biji buah 'madhu' dan memakan isinya. Kedua thera itu mengambil bagian luarnya yang tersisa, dan memakannya. Selama satu minggu hanya itulah makanan yang tersedia. Dalam kesempatan selanjutnya mereka bertahan hidup dengan memakan batang bunga bakung dan juga bonggol pohon pisang. (Sammohavinodani 447, 448).
Kisah bhikkhu yang lain, bernama Vattabaka Nigrodha lebih mengenaskan.
Bersama gurunya yang sudah uzur, beliau berkelana dari tempat ke tempat dengan secuil makanan. Bencana kelaparan pada saat itu sudah sangat gawat sehingga orang bahkan ada yang memakan daging manusia. Thera yang sudah sangat lanjut usia itupun menjadi salah satu korban mereka. Untunglah Nigrodha berhasil lolos. (Sammohavinodani 449, 450).
Tidak terhitung banyaknya orang yang mati, baik para bhikkhu maupun umat awam. Di Vihara Tissamaharama dan Cittalapabatavihara sebenarnya dahulu tersimpan beras yang cukup untuk tiga tahun, namun semuanya habis diserbu tikus. Dua belas ribu Arahat dari masing-masing vihara pun berangkat dengan maksud mengungsi ke vihara yang lain. Di tengah jalan mereka bertemu dan setelah mendengar kisah masing-masing, mereka akhirnya masuk ke hutan dan memilih untuk meninggal di
Seorang theri bernama Naga, ditinggalkan bersama para bhikkhuni lainnya di vihara mereka di Desa Bharatagama.
Tissabhuti tinggal di Vihara Mandalarama di Desa Kalakagama. Di dalam Manorathapurani diriwayatkan bahwa bhikkhu ini pernah melihat seorang wanita dan kemudian pikiran kotor merasuki batinnya. Ia pun bergegas pulang ke <ivihara, menghadap gurunya Malayavasi Mahasangharakkhita Thera dan mendapat petunjuk untuk meditasi. Ia pun bertekad untuk menghapus pikiran kotornya, bahkan bila gagal ia nekad akan mengakhiri hidupnya. Ia pun pamit kepada gurunya sambil berulang-ulang memberi hormat. Gurunya bertanya heran, dan Tissabhuti menjawab : 'Syukurlah kalau saya berhasil. Namun kalau gagal, inilah penghormatan saya yang terakhir kepada guru.'
Tissabhuti pergi menyendiri dan menjalankan meditasi sesuai petunjuk gurunya. Akhirnya iia berhasil dan menjadi Arahat.
Cerita lain tentang Tissabhuti terdapat dalam Atthasalini.
Pada suatu hari ia menjelaskan bahwa tempat Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi di Buddha Gaya adalah 'nidana' (tempat asal) diajarkannya Abhidhamma Pitaka. Thera Sumanadeva dari Gama ketika itu sedang mengajarkan dhamma di bagian bawah Istana Kuningan. Thera Sumanadeva mendengar hal ini dan menyebut Tissabhuti sebagai seorang 'paravadi' (yang keliru), yang tidak mengetahui 'nidana' dari Abhidhamma. Beliaupun kemudian menjelaskan keterangan yang benar tentang riwayat Buddha mengajarkan Abhidhamma di kaki sebatang Pohon Paricchattaka di Tavatimsa, surga para dewa. (Atthasalini 30, 31).
Kedua thera yang lain, Phussadeva dan Upatissa berguru kepada orang yang sama. Selama masa bencana kelapan keduanya teguh berupaya melindungi Vinaya Pitaka. (Samantapasadika I-263).
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di
Persamuan Agung keenam diadakan di
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara
Tipitaka terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Bagian itu adalah Disiplin (Vinaya Pitaka), Ceramah (Sutta Pitaka), dan Doktrin Mutlak (Abhidhamma Pitaka).[1]
1. Vinaya Pitaka
Vinaya Pitaka berkaitan dengan aturan tata tertib bhikkhu dan bhikkhuni. Disini digambarkan secara rinci perkembangan bertahap Sasana, juga memberikan catatan kehidupan dan petapaan Sang Buddha. Secara tidak langsung, Vinaya Pitaka mengungkapkan beberapa informasi bermanfaat mengenai sejarah masa lampau, adat India , seni, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Selama hampir dua puluh tahun sejak pencerahan-Nya, Sang Buddha tidak menetapkan aturan untuk mengendalikan Sangha. Pada kemudian hari, dengan terjadinya beberapa peristiwa dan bertambahnya jumlah pengikut, Sang Buddha mengumumkan aturan untuk disiplin masa depan Sangha.
Pitaka ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
● Sutta Vibhanga
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari:
→ Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari:
→ Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.
→ Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
● Khandhaka
Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga.
→ Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha); dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
→ Kitab Culavagga: berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu; kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera); pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi Bhikkhuni; kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai Pasamuan Agung Kedua di Vesali.
Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga.
→ Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha); dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
→ Kitab Culavagga: berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu; kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera); pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi Bhikkhuni; kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai Pasamuan Agung Kedua di Vesali.
● Parivara
Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.[2]
Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.[2]
2. Sutta Pitaka
Sutta Pitaka terdiri dari ceramah-ceramah utama yang diberikan Sang Buddha sendiri dalam berbagai peristiwa. Ada juga beberapa ceramah yang disampaikan oleh murid-muridNya yang terkemuka, seperti Yang Ariya Sariputta, Ananda, Moggallana, termasuk beberapa bhikkhuni terkemuka seperti Khema, Uttara, Visakha, dan lain-lain. Kitab ini seperti buku resep, karena wacana di dalamnya menjelaskan secara terperinci dan menyesuaikan dengan berbagai kejadian dan perangai berbagai orang yang berbeda-beda. Mungkin ada pernyataan-pernyataan yang tampaknya bertentangan, namun hal ini sebaiknya tidak disalah-artikan karena hal ini dikatakan secara tepat oleh Sang Buddha untuk menyesuaikan dengan maksud tertentu. Karena itu moral, etika, disiplin, tugas, tanggung jawab, kewajiban, dan kualitas manusia dapat ditemukan semua dalam Sutta Pitaka.
Kitab ini dibagi menjadi lima Nikaya atau kumpulan, yaitu :
1. Digha Nikaya (Kumpulan Ceramah Panjang)
Pembagian khotbah-khotbah panjang disusun dalam tiga vagga atau rangkaian. Dalam koleksi yang sama dalam bahasa Cina ada tiga puluh khotbah, yang dua puluh enam di antaranya telah dipersamakan oleh Anesaki dengan versi Pali. Yang terdiri atas 34 sutta panjang dan 3 vagga (Silakandha Vagga, Maha Vagga, Patika Vagga).
2. Majjhima Nikaya (Kumpulan Ceramah Sedang)
Ini merupakan khotbah-khotbah berukuran sedang. Disusun dalam lima belas vagga dan secara kasar digolongkan menurut pokok-pokoknya. Beberapa di antaranya dinamakan dari sutta pertama. Keempat dan kelima ialah dua “pasangan”. Selanjutnya pelajaran untuk para perumah-tangga, bhikkhu, pertapa kelana, raja-raja dan lain-lain. Buku ini terdiri dari tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; yang seluruhnya berjumlah 152 sutta.
3. Samyutta Nikaya (Kumpulan Ujaran Setara)
Rangkaian sutta yang “dikelompokkan” atau “dihubungkan” yang berhubungan dengan suatu doktrin khusus maupun yang mengembangkan kepribadian tertentu. Ada 56 samyutta yang terbagi dalam lima vagga memuat 2.889 sutta.
4. Anguttara Nikaya (Kumpulan Ujaran Berurutan)
Dalam Anguttara Nikaya, pembagiannya benar-benar merupakan pembagian menurut nomor. Ada sebelas kelompok yang diklasifikasikan (nipata); pokok pembahasan yang pertama merupakan bagian-bagian tunggal, yang diikuti oleh kelompok-kelompok dua dan seterusnya sampai kelompok sebelas. Tiap nipata dibagi dalam vagga-vagga yang masing-masing memuat sepuluh sutta atau lebih, yang seluruhnya berjumlah 2.308 sutta.
5. Khuddaka Nikaya (Kumpulan Kecil)
Pembagian dalam buku-buku kecil seperti diterangkan oleh Buddhaghosa. Ia memberikan dua daftar isi yang dalam salah satunya tidak terdapat karya pertama, tetapi sutta-sutta tertentu di dalamnya sebagian besar terdapat pula pada bagian lain dalam Tipitaka. Nikaya ini muncul secara bertahap dengan pengumpulan koleksi-koleksi yang tidak terdapat dalam Nikaya-Nikaya lama. Nikaya ini tidak ditemukan dalam Kitab Suci aliran-aliran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, meskipun ada terjemahan tersendiri dalam bahasa Cina dari sebagian besar isinya.
Kitab kelima dibagi lagi menjadi 15 risalat :
1. Khuddaka Patha (Naskah Pendek)
2. Dhammapada (Jalan Kebenaran)
3. Udana (Ungkapan Kegembiraan)
4. Itivuttaka (Ceramah)
5. Sutta Nipata (Kumpulan Ceramah)
6. Vimana Vatthu (Cerita Kediaman Surgawi)
7. Peta Vatthu (Cerita Makhluk Peta)
8. Theragatha (Syair Para Bhikhu)
9. Therigatha (Syair Para Bhikkhuni)
10. Jataka (Cerita Kelahiran Bodhisatta)
11. Niddesa (Penjelasan Terperinci)
12. Patisambhida Magga (Pengetahuan Analitis)
13. Apadana (Kehidupan Arahat)
14. Buddhavamsa (Riwayat Para Buddha)
15. Cariya Pitaka (Bunga Rampai Perilaku)
3. Abhidhamma Pitaka
Abhidhamma adalah doktrin analitis mengenai indera mental dan unsur. Abhidhamma Pitaka memuat psikologi dan filosofi moral secara mendalam dari ajaran Buddha, kebalikan dari ceramah moral sederhana yang ada dalam Sutta Pitaka. Pengetahuan yang diperoleh dari Sutta tentu dapat membantu kita mengatasi kesulitan serta mengembangkan tingkah laku moral dan melatih pikiran kita. Dengan memiliki pengetahuan semacam itu akan memungkinkan kita untuk menjalani hidup yang damai, terhormat, aman, dan mulia. Dengan mendengarkan wacana-wacana, kita mengembangkan pemahaman akan Dhamma dan membangun hidup kita sehari-hari sesuai denganNya.
Dalam Abhidhamma, segala sesuatu dianalisis dan dijelaskan secara rinci, dan hal demikian disebut Doktrin Analitis (Vibhajja Vada). Empat hal mutlak (Paramattha) diuraikan satu per satu dalam Abhidhamma. Keempat hal itu adalah Citta (Kesadaran), Cetasika (Faktor Mental), Rupa (Bentuk), dan Nibbana.
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.
5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.
5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.
Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha Nikâya.[3]
B. Catur Arya Satyani (Empat Kebenaran Mulia)
Cattari Arya Saccani arti menurut hurufnya ialah Cattari: Empat, Ariya: Mulia/Utama/Mutlak/Suci, Saccani: Kebenaran/Kenyataan. Jadi, artinya Empat Kebenaran Mulia atau Empat kesunyataan.[4]
oleh Yang Maha Satu Buddha Gotama, kita diajarkan untuk melepaskan diri dari belenggu nafsu-keinginan, dan pengertian Nibbana itu sendiri adalah pembebasan nafsu keinginan, karena nafsu keinginanlah yang mendatangkan Dukkha (penderitaan).
Pengertian tentang Dukkha dalam bahasa Indonesia adalah derita jasmani-rohani. Jadi Dukkha menurut agama Buddha adalah semua kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan, penderitaan yang sifatnya tidak kekal.. dukkha merupakan satu kebenaran mutlak atau kesunyataan yang dapat dirasakan oleh setiap manusia, kecuali oleh mereka yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat, yang telah mengatasi kelahiran, kelapukan, dan kematian, hidup kekal dan abadi.
Konsepsi Dukkha ada tiga macam:
1. Dukkha-Dukkha ialah dukkha yang nyata, yang benar-benar dirasakan oleh setiap manusia sebagai derita jasmani, seperti sakit perut, kanker dan lainnya, dan pada rohani, sperti kesal, sedih, cemas, kecewa dan lain-lain.
2. Vaparinama-Dukkha ialah fakta bahwa semua perasaan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang didalamnya mengandung benih-benih ketidakpuasan dan lain-lain.
3. Sankhara-Dukkha ialah apa yang disebut manusia, yang terbagi 2 bagian yaitu jasmani dan rohani, dan yang etrdiri dari lima kelompok kehidupan adalah Dukkha; selama masih adanya kelima kelopmpok kehidupan itu tidak mungkin terbebas dari suatu penyakit physik dan mental.[5]
Untuk mengetahui dan mengerti mengenai Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan/Empat kebenaran mulia secara singkatnya.
1. Kesunyataan tentang Dukkha (Dukkha Ariya-Sacca)
a. Kelahiran, usia lanjut dan kematian adalah Dukkha.
b. Timbulnya kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah Dukkha.
c. Keinginan yang tak tercapai adalah Dukkha.
d. Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai dan berkumpul/dekat dengan yang dibenci adalah Dukkha.
e. Masih banyak lagi lain-lainnya yang menimbulkan Dukkha.
2. Kesunyataan tentang Asal-Mula Dukkha (Dukkha Samudaya AriyaSacca)
Dukkha disebabkan adanya nafsu keinginan, kehausan, kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indriya dan pikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses tumimbal-lahir.
3. Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkhanirodha AriyaSacca)
a. Dukkha hanya dapat lenyap dengan padamnya nafsu keinginan dan padamnya arus kekotoran bathin, yang berarti terhentinya proses tumimbal-lahir dan tercapainya Nibbana.
b. Apa yang diterangkan di poin a diatas bukanlah hanya teori belaka, namun itu mengandung satu pengertian bahwa gerak kehidupan yang dilakukan setiap saat memiliki batas-batas kemampuan berdasarkan daya tangkap perasaan, pikiran dan perbuatan kita. Selama perasaan, pikiran dan perbuatan kita tidak dibiarkan bekerja terus sampai melampaui batas-batas kemampuan, maka selama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau Dukkha.
4. Kesunyataan tentang Jalan Berakhirnya Dukkha (Dukkhanirodhagaminipatipada AriyaSacca)
Untuk dapat mencapai tujuan melenyapkan Dukkha ditunjukkan Delapan Ruas Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga), yaitu :
a. Harus memiliki pandangan yang benar.
b. Harus memiliki pikiran yang benar.
c. Harus memiliki ucapan yang benar.
d. Harus memiliki perbuatan yang benar.
e. Harus memiliki mata pencaharian yang benar.
f. Harus memiliki daya-upaya yang benar.
g. Harus memiliki perhatian yang benar.
h. Harus memiliki konsentrasi yang benar.[6]
Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang adanya penderitaan ialah dilahirkan, usia tua, sakit, mati, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, tidak memperoleh sesuatu yang didambakan. Secara singkat dikatakan bahwa lima kelompok kehidupan (panca skandhah) adalah Dukkha. Duhkha diatas terbagi atas tiga kelompok:
Ø Penderitaan karena cengkeraman bentuk-bentuk lain
Ø Penderitaan karena cengkeraman ketidakkekalan
Ø Penderitaan karena cengkeraman kesakitan
Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang asalnya penderitaan ialah tanha atau nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya. Tanha terdiri dari:
v Karma tanha: keinginan untuk menikmati nafsu indra
v Bhava tanha: keinginan untuk dilahirkan
v Vibhava tanha: keinginan untuk memusnahkan diri
Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang lenyapnya penderitaan ialah dimana tanha telah dapat disingkirkan secara menyeluruh. Singkatnya telah mencapai Nirvana.[7]
Jalan Ariya Beruas Delapan, jalan menuju akhir penderitaan, merupakan terapi terpadu yang dirancang untuk menyembuhkan penyakit Samsara melalui pengembangan ucapan dan perbuatan moral, pengembangan pikiran, dan transformasi sempurna tingkat pemahaman dan kualitas pikiran seseorang. Hal ini menunjukkan jalan untuk memperoleh kematangan spiritual dan terbebas sepenuhnya dari penderitaan.
Jalan Ariya Beruas Delapan terdiri dari delapan faktor berikut :
Sila | Ucapan Benar Perbuatan Benar Penghidupan Benar | Moralitas |
Samadhi | Usaha Benar Perhatian Benar Konsentrasi Benar | Latihan Mental |
Panna | Pandangan Benar Pikiran Benar | Kebijaksanaan |
C. Hukum Karma
Kamma adalah kata bahasa Pali dan Karma adalah kata Sanskerta yang secara singkat berarti perbuatan, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab dan kemudian setelah itu dilakukan akan menimbulkan akibat.
Kamma dapat dibilang dalam bahasa anak-anak yang sederhana; berbuatlah baik dan kebaikan akan datang padamu, sekarang dan sesudahnya. Berbuatlah jahat dan kejahatan akan datang padamu, sekarang dan sesudahnya.
Dalam bahasa penuai, kamma dapat dijelaskan dengan cara ini; jika kamu menabur benih yang baik, kamu akan menuai panen yang baik. Jika kamu menabur benih yang buruk, kamu akan menuai panen yang buruk.
Dalam Dhammapada, kamma dijelaskan dengan cara ini; “Pikiran adalah pelopor segala kebaikan dan kejahatan. Jika engkau berbicara dan bertindak dengan pikiran yang buruk, maka ketidakbahagiaan mengikutimu seperti roda pedati mengikuti kuku sapi. Jika engkau berbicara atau bertindak dengan pikiran yang baik, maka kebahagiaan mengikutimu seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkanmu.”[8]
Semua perbuatan menimbulkan akibat dan akibat ini merupakan pula sebab yang akan menghasilkan akibat lain, dan begitulah seterusnya, sehingga kamma juga disebut sebagai hukum sebab-akibat. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa bersifat baik, seperti menolong makhluk dan membahagiakannya, sehingga perbuatan itu akan membawa suatu kamma-vipaka (akibat-kamma) yang baik dan memberikan kepada kita untuk melakukan kamma yang lebih baik lagi.
YMS Budha Gotama bersabda dalam kitab Samyutta Nikaya 1: 227 berbunyi sebagai berikut:
“Sesuai dengan benih yang telah ditabur
Begitu pula buah yang akan dipetiknya
Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan
Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula
Tertaburlah olehmu biji-bijian, dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.”
Menurut Sang Buddha, kamma bukan ditakdirkan atau ditentukan pada kita oleh suatu kekuasaan atau kekuatan misterius di mana kita harus berpasrah diri tanpa daya. Umat Buddha percaya bahwa seseorang akan menuai apa yang sudah ia tabur; kita saat ini adalah hasil dari diri kita pada masa sebelumnya, dan kita nanti akan menjadi hasil diri kita saat ini. Kekuatan kamma tidak dapat dikendalikan dengan berdiam diri. Berbagai aktivitas untuk kebaikan sangat diperlukan demi kebahagiaan seorang itu sendiri. Pelarian adalah sumber kelemahan, dan seorang pelarian tidak akan dapat lari dari efek hukum kamma.
Sang Buddha berkata, “Tidak ada tempat sembunyi untuk melarikan diri dari hasil kamma.” (Dhammapada 127)
Faktor yang mendukung Karma
Menurut ajaran Buddha, ada lima kaidah atau proses hukum alam (niyama) yang bekerja dalam dunia fisik dan mental :
1. Utu Niyama
Hukum tertib “physical inorganic” misalnya: gejala timbulnya angin dan hujan yang mencakup pula tertib silih berganti musim-musim dan perubahan iklim yang disebabkan oleh angin, hujan, dan sebagainya.
2. Bija Niyama
Hukum tertib tumbuh-tumbuhan daripada benih dan pertumbuhan tanam-tanaman, misalnya: padi berasal dari tumbuhnya benih padi; gula berasal dari batang tebu, dan sebagainya.
3. Kamma Niyama
Ialah hukum tertib sebab akibat misalnya perbuatan yang dimaksud bermanfaat (membahagiakan, baik dan merugikan, buruk) terhadap pihak lain. Rangkaian dari kejadian sebab dan akibat ini adalah sama seperti tertib jalannya (yang saling bergantungan) bulan dan bintang-bintang.
4. Dhamma Niyama
Ialah hukum tertib terjadinya persamaan dari suatu gejala yang khas, misalnya: terjadinya keajaiban alam sewakltu seorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai calon Budha, pada saat ia akan terlahir untuk kemudian menjadi Budha.
5. Citta Niyama
Ialah hukum tertib jalan alam pikiran atau hukum alam bathiniah, misalnya: proses daripada kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat kesadaran, kemampuan membaca pikiran orang lain, semua gejala bathiniah yang kini belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern, dan sebagainya.[9]
Peranan Cetana dalam Kamma
Cetana adalah akar dari perbuatan baik maupun buruk. Maka, apabila cetana berhubungan dengan kesadaran/citta yang berakar pada dosa, akan timbullah perbuatan yang doilakukan oleh pikiran, ucapan dan tindakan yang buruk, kemudian sebagai akibatnya ialah dimiliknya bentuk-bentuk kamma yang buruk, dan sebaliknya.
Syarat-syarat suatu perbuatan yang dapat disebut Kamma
Suatu perbuatan yang dapat disebut kamma yaitu apabila memenuhi syarat:
a. Terjadinya itu karena adanya cetana
b. Perbuatan yang dilaksanakan berdasarkan kesadaran atau dengan sengaja.
Menurut Sang Budha, keberadaan tidak ditentukan oleh nasib atau takdir. Menurut apa yang dilukiskan oleh Sang Budha, karma adalah hukum tanpa pengadilan dan konsekuensi yang tak memihak, atau secara lebih sederhana adalah hukum tentang akibat yang mengikuti sebab.
Kita semua menderita atau menikmati buah hasil dari perbuatan kita dimasa lalu., maka memuja atau membenci orang lain, atau menyesali keberuntungan bukanlah tindakan yang berguna. Yang mungkin ada gunanya adalah kita menjalankan delapan ruas jalan suci, menggali sikap yang benar sehingga menghasilkan karma yang positif, dan mungkin akhirnya membebaskan diri kita sendiri dari ketidaktahuan. Kalau seseorang menjalani hidup yang sehat, sedangkan orang lain menderita penyakit, lalau seseorang panjang umur yang lain mati muda dan sebagainya; maka dalam hal ini tak ada campur tangan para dewa, hanyalah sebab akibat semata.[10]
Dua aspek hukum karma adalah salah satu ajaran penting dalam agama Budha. Umat Budha memandang hukum karma sebagai hukum universal tentang sebab akibat yang juga hukum moral yang impersonal. Menurut hukum ini sesuatu (yang hidup, yang tak hidup maupun yang abstrak atau yang ada karena kita buat dalam pikiran sebagai ide) yang muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketidakadaan. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau makhluk yang muncul tanpa ada sebab dahulu. Berbicara tentang ‘konsekuensi’ atau ‘akibat’ bila sesuatu itu tergantung pada kejadian yang mendahuluinya dan kejadian mula yang menghasilkan kejadian berikutnya disebut ‘sebab’.
Prinsip dasar dari hukum karma adalah barang siapa yang menanam maka dia yang akan memetik hasilnya apakah hasil itu baik atau buruk. Ajaran karma Budhis sebagai hukum moral yang menitikberatkan pada perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan melalui perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Perbuatan-perbuatan itu diklasifikasikan sebagai karma bila suatu perbuatan dilakukan karena adanya niat atau kehendak (cetana). Suatu perbuatan tanpa niat atau kehendak tidak dapat disebut karma karena perbuatan itu tidak akan menghasilkan akibat moral baginya. Misalnya, menurut pandangan umum adalah benar bila seseorang membunuh binatang buruannya. Tetapi pembunuhan itu tidak benar menurut hukum moral. Menurut pandangan moral Budhis suatu pembunuhan adalah pelanggaran hukum moral, pembunuhan ini dipandang sebagai perbuatan karma buruk. Ajaran agama Budha menganjurkan kita untuk mengembangkan perasaan cinta kasih (metta) dan kasih saying (karuna) terhadap semua makhluk.
Fungsi hukum karma, seseorang yang memiliki keyakinan yang teguh kepada hukum karma akan selalu melakukan perbuatan baik demi kebaikan tanpa memperdulikan akibat dari perbuatannya, karena ia selalu yakin bahwa baik akan selalu berakibat baik. Melakukan perbuatan baik demi kebaikan merupakan cara yang ideal dari ajaran hukum karma Budhis.
Pembagian Karma
Pembagian karma oleh Buddhagosa ini didasarkan pada kata-kata Sang Budha yang tersebar dalam kitab Suci Tipitaka yaitu sebagai berikut:
1) Karma menurut waktu
2) Karma menurut kekuatan
3) Karma menurut fungsi
4) Karma menurut kedudukannya
Masing-masing golongan ini terdiri dari empat macam, dan bila disatukan menjadi dua belas macam. Kadang-kadang semuanya disebut dua belas karma. Kedua belas karma ini dapat bersifat baik (kusala) atau buruk (akusala).
1. Karma menurut waktu
Dalam hal ini, karma dihubungkan dengan unsure waktu dalam menghasilkanakibatnya, yang terdiri atas empat macam, yaitu:
♠ Ditthadahammavedaniya-kamma, adalah karma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini juga.
Menurut Visuddimagga,apabila karma ini tidak menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang maka karma ini menjadi tak efektif (ahosi: lihat Visuddhimagga hal. 697). Karma ini tergolong amat kuat karena dapat menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang. Pelakunya akan mengalami akibatnya dalam kehidupan sekarang juga.
Perbuatan: kehidupan sekarang
Akibat: kehidupan sekarang
a. Uppajjavedaniya-kamma, adalah karma yang akibatnya dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini. Karama ini menggantikan karma “sekarang” sejak saat kematian seseorang dan terus menghasilkan akibatnya dalam kehidupan yang bari selama tak ada intervensi dari karma lain yang lebih kuat.
Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan sekarang akan berakibat pada kehidupan berikut:
Perbuatan: kehidupan sekarang
Akibat: kehidupan berikut setelah kehidupan sekarang
b. Aparaparavedaniya-kamma, adalah karma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan-kehidupan berikutnya. Karma ini dikatakan tak akan pernah berakhir dan terus mengejar pelakunya tanpa mengenal lelah; tak akan pernah berhenti pengejarannya sampai sang kurban menjadi lelah.
Perbuatan: kehidupan sekarang
Akibat: kehidupan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
c. Ahosi-kamma, adalah karma yang tidak member akibat karena jangka waktunya untuk memberikan akibat telah habis atau karena karma tersebut telah menghasilkan akibatnya dan secara penuh sehingga kekuatannya habis sendiri. Misalnya, seperti sesendok garam (karma buruk) yang dimasukkan dalam danau besar (karma baik yang tak dapat merubah air danau menjadi asin).
2. Karma menurut kekuatan
Dalam hal ini, karma dihubungkan dengan tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat, yang terdiri atas empat, yaitu:
a. Garru kamma, adalah karma yang paling berat diantara semua karmalainnya karena sifatnya yang amat kuat. Selama karma ini masih menghasilkan akibatnya, tak ada karma lainnya yang berkesempatan untuk menghasilkan akibatnya (menjadi masak).
Pada seginya yang buruk (akusala), guru-kamma adalah melakukan salah satu atau lebih dari perbuatan paling jahat, yaitu: membunuh ibu, ayah, orang yang telah mencapai kesucian yang sempurna, melukai seorang Budha dan menyebabkan perpecahan persaudaraan antara para bikhu dan bhikhuni (sangha). Seseorang yang telah melakukannya, maka dalam hidupnya tidak dapat memahami kebenaran mutlak, dan setelah kematiannya, maka ia akan terlahir kembali dalam alam neraka yang paling mengerikan (Niraya avici).
Pada seginnya yang baik (kusala) guru-kamma dimaksudkan pada delapan pencapaian tingkat samadhi, yaitu:
Empat tingkat rupa jhana:
b. Bahula-kamma, adalah karma yang sering dan berulang-ulang dilakukan oleh seseorang melalui saluran badan jasmani, ucapan, dan pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya. Karma ini akan memberikan akibatnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu-kamma.
c. Asannamarana-kamma, adalah karma yang diperbuat seseorang pada saat menjelang kematian, atau dapat pula berupa perbuatan yang dahulu dilakukan, jadi ingat kembali dengan amat jelas saat diambang kematiannya. Bila seseorang terbiasa melakukan kejahatan untuk waktu yang lama, maka ia kemungkinan melewati karma ini, tetapi apabila ia melakukan kebaikan sepanjang hidupnya, maka sedikit kemungkinan untuk merasakan kamma yang jelek. Menurut Budha, karma ini amat menentukan macam kelahiran mendatang dari orang yang sedang berada diambang pintu kematian, yang apakah ia akan dilahirkan kembali dalam alam sengsara atau alam bahagia tergantng pada karma ini.
d. Kattata-kamma, adalah suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan kehendak tertentu, dan perbuatan ini dilakukan hanya sekali saja atau beberapa kali, namun bukan perbuatan yang dilakukan terus-menerus seperti pada Bahula atau Accina-kamma. Misalnya, seseorang yang memberikan makanan kepada orang lain, dan dilakukan hanya sekali atau dua kali sebulan. Begitu pula dengan orang lain yang melakukan perbuatan salah seperti membunuh, berdusta dll. Perbuatan jahat yang dilakukan hanya sekali atau beberapa kali. Semua perbuatan negative diatas dikelompokkan dalam kattata-kamma.
3. Karma menurut fungsi
Disini, karma dihubungkan dengan peranannya dalam menghasilkan akibat, yang juga terdiri atas empat macam, yaitu:
a. Janaka-kamma (karma penghasil), adalah karma yang berfungsi menghasilkan.karma macam ini dapat dibandingkan dengan seorang ayah-ibu dalam fungsinya membawa seorang dalam kelahiran baru. Menurut Budha, apabila janaka-kamma telah menyebabkan suatu kelahiran, maka tugasnya sebagai karma penghasil berakhir.
b. Upattahambhaka-kamma (karma penguat), adalah karma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka-kamma baik, kamma penguat ini membantu sehingga keadaanya lebih baik; demikian pula sebaliknya.
c. Uppapilika-kamma (karma-pelemah), adalah karena yang berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam menghasilkan akibatnya. Apabila janaka-kamma menjadikan seorang memiliki suatu kelahiran yang baik, karma pelemah ini akan mengurangi kesempatan, yang dimiliki dalam suatu kelahiran demikian, demikian pula sebaliknya.
d. Upaghataka-kamma (karma penghancur), adalah karma yang mempunyai kategori sama dengan karma pelemah di atas, karena fungsinya menentang atau menghancur kekuatan dari janaka-kamma. Akan tetapi, karma ini mempunyai kekuatan lebih besar daripada karma pelemah.[11]
4. Kelompok Karma Berdasarkan Kedudukannya ( Pakatthanacatukka )
■ Akusala-Kamma : Perbuatan buruk yang akan masak di alam keindriaan
Sepuluh (10) tindakah jahat tersebut adalah sebagai berikut :
(a). Tiga dilakukan perbuatan jasmani ( Akusala-Kaya-Kamma ), yaitu : 1). Membunuh ( panatipata), 2). Mencuri ( adinnadana ), 3). Perbuatan sex yang tidak pada tempatnya dan tidak sepatutnya ( kamesu micchacara ).
(b). Empat dilakukan oleh ucapan (Akusala-Vadi-Kamma), yaitu : 1). Berbohong ( musavada ), 2). Memfitnah ( pisunavaca ), 3). Kata-kata kasar ( pharusavaca ), dan, 4). Bergunjing ( samphappalapa ).
(c). Tiga dilakukan oleh pikiran (Akusala-Mano-Kamma), yaitu : 1). Ketamakan ( abhijjha ), 2). Keinginan Jahat ( Vyapada ), 3). Pandangan Salah ( Micchaditthi ).
→ Membunuh ( panatipata )
Membunuh ( panatipata ), berarti dengan sengaja melenyapkan nyawa makhluk hidup apapun. Kata “Pana” dari bahasa Pali dengan tegas berarti “ kehidupan batin – jasmani mengenai keberadaan makhluk tertentu “. Penghancuran secara kejam dari kekuatan kehidupan ini, tanpa mengijinkannya untuk bergerak sesuai dengan waktu hidupnya sendiri, berarti “ panatipata “.
“ Makhluk Hidup “ disini berarti termasuk dunia hewan, tetapi tanaman tidak termasuk karena mereka tidak mempunyai pikiran, perasaan, persepsi, dan kesadaran apapun ( “ jiwa “ ). Namun meskipun demikian, para petapa suci, diharuskan untuk tidak menghancurkan kehidupan tanam-tanaman sekalipun. Hukum ini tidak ditujukan untuk orang biasa yang hidup berumah-tangga.
Bobot kejahatan tergantung pada kebaikan dan besarnya makhluk yang bersangkutan. Pembunuhan terhadap seorang saleh atau seekor hewan besar ( gajah, lembu, kerbau, dll. ) dipandang lebih kejam daripada pembunuhan terhadap seorang yang keji, bengis, jahat ataupun seekor hewan kecil ( nyamuk, semut, kecoa, ulat, dll. ). Hal itu dianggap demikian karena usaha lebih besar diperlukan untuk melakukan kejahatan itu dan kehilangan yang ditimbulkan dipandang lebih besar.
Buah karma buruk dari membunuh adalah : i. Umur pendek, ii. Kesehatan yang buruk, iii. Selalu berduka karena perpisahan dari mereka yang dicintai, dan, iv. Selalu ketakutan.
→ Mencuri ( adinnadana )
Buah karma buruk dari mencuri adalah : i. Kemiskinan, ii. Penderitaan, iii. Kekecewaan, iv. Kehidupan yang bergantung pada pihak lain.
→ Pelanggaran Susila ( kamesu micchacara )
Empat ( 4 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan pelanggaran susila : i. Pikiran untuk menikmati, ii. Usaha ke arah itu, iii. Cara untuk memuaskan, iv. Pemuasan.
Buah karma buruk dari pelanggaran susila yang tak dapat dielakkan yaitu : i. Mempunyai banyak musuh, ii. Mendapat suami atau istri yang tidak diinginkan, iii. Lahir sebagai perempuan; orang kasim ; banci atau / waria.
→ Berbohong ( musavada )
Empat ( 4 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan berbohong, yaitu : i. Sesuatu yang tidak benar, ii. Kehendak untuk berbohong, iii. Pengungkapan, iv. Penipuan yang sesungguhnya.
Buah karma buruk dari berbohong yang tak dapat dielakkan yaitu : i. Menjadi sasaran caci maki dan fitnah, ii. Tidak dipercaya, dan, iii. Mulut yang berbau.
→ Memfitnah ( pisunavaca )
Empat ( 4 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kejahatan memfitnah, yaitu : i. Orang-orang yang akan dipisahkan, ii. Kehendak untuk memisahkan mereka atau keinginan untuk mendekatkan diri sendiri kepada orang lain, iii. Usaha ke arah itu, iv. Penyampaian.
Buah karma buruk dari memfitnah yang tak dapat dielakkan adalah pecahnya persahabatan tanpa sebab apapun yang memadai.
→ Kata-kata Kasar ( pharusavaca )
Tiga ( 3 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya kata-kata kasar, yaitu : i. Seseorang untuk dimaki, ii. Pikiran yang marah, dan, iii. Makian yang sesungguhnya.
Buah karma buruk dari kata-kata kasar yang tak dapat dielakkan yaitu : i. Dibenci oleh pihak lain walaupun mutlak tak bersalah, dan, ii. Memiliki suara parau.
→ Pergunjingan ( samphappalapa )
Dua ( 2 ) keadaan diperlukan untuk terjadinya pergunjingan, yaitu : i. Keinginan untuk bergunjing, ii. Penyampaian hal itu.
Buah karma buruk dari bergunjing adalah : i. Cacat alat tubuh, ii. Pembicaraan yang tidak masuk akal.
→ Rasa Tamak ( abhijjha )
Dua ( 2 ) keadaan diperlukan untuk adanya rasa tamak, yaitu : 1. Milik pihak lain, 2. memperhatikannya dengan berpikir, “ seandainya ini milikku “.
Buah karma buruk dari ketamakan yang tidak dapat dielakkan adalah : pengharapan-pengharapan yang tidak bisa terpenuhi.
→ Keinginan Jahat ( Vyapada )
Dua keadaan diperlukan untuk adanya keinginan jahat, yaitu : Orang lain, dan Pikiran untuk berbuat jahat.
Buah karma buruk dari keinginan jahat yang tak dapat dielakkan adalah : 1. Berwajah jelek, 2. Menderita berbagai penyakit, iii. Pembawaan yang menjijikkan.
→ Pandangan Salah ( Micchaditthi )
Pandangan salah adalah melihat benda/objek secara salah. Kepercayaan yang salah seperti penolakan terhadap manfaat perbuatan baik termasuk dalam kejahatan ini.
Dua ( 2) keadaan diperlukan untuk adanya pandangan salah ini, yaitu : i. Cara yang salah dalam menanggapi objek, ii. Pengertian terhadap objek itu sesuai dengan gagasan yang salah.
Buah karma buruk dari pandangan salah yang tak dapat dielakkan adalah : i. Keinginan rendah, ii. Kurang bijaksana, iii. Akal yang tumpul, iii. Berbagai penyakit menahun, iv. Gagasan yang tercela.
1. Tidak ada kebajikan seperti kedermawanan ( dinnam );
2. Tidak ada kebajikan seperti banyak memberi dana ( ittham ) atau
3. Tidak ada kebajikan dari memberi hadiah untuk para tamu ( hutam );
4. Tidak ada buah ataupun akibat dari perbuatan baik dan buruk,
5. Tidak percaya pada “ dunia ini” atau,
6. Tidak percaya pada “dunia setelah ini “, yaitu mereka yang dilahirkan tidak menerima keberadaan pada masa lalu, dan mereka yang hidup disini tidak menerima suatu kehidupan yang akan datang,
7. Tidak ada ibu,
8. Tidak ada ayah,
9. Tidak ada makhluk yang mati dan bertumimbal lahir ( opapatika ),
10. Tidak ada petapa yang berbudi dan bertata-tertib baik serta para brahmana, yang dengan kecerdasan istimewa mereka sendiri telah memahami dunia ini dan dunia setelah ini, dan menjelaskan hal itu.
■ Kamavacarakusala-Kamma : Kamma baik yang akan masak di alam keindriaan :
Kamavacarakusala-kamma terbagi menjadi tiga (3) macam , yaitu :
1. Kusala-Kaya-Kamma ( perbuatan baik melalui jasmani ).
2. Kusala-Vaci-Kamma ( perbuatan baik melalui perkataan ).
3. Kusala-Mano-Kamma ( perbuatan baik melalui pikiran ).
Penghindaran dari sepuluh tindakan jahat diatas disebut “ sepuluh (10) perbuatan bajik “, yang diterangkan secara rinci dalam Sevitabba-asevitabba-sutta, bagian dari Majjhima Nikaya.
Disamping itu, dalam agama Buddha dikenal “Sepuluh Karma Bajik” yang mencakup sepuluh perbuatan bajik disertai perbuatan bajik lainnya, yaitu yang terangkum dalam tabel berikut ini :
JENIS KARMA BAIK | AKIBAT / BUAH KARMA |
Kedermawanan ( Dana ) :
|
|
Moralitas ( Sila ) | Kelahiran dalam keluarga mulia dan dalam keluarga bahagia. |
Meditasi ( Bhavana ) | Membawa kelahiran di alam berbentuk dan alam tidak berbentuk, serta membantu untuk memperoleh pengetahuan lebih tinggi dan kebebasan. |
Penghormatan (apacayana) | Memiliki keturunan mulia ; dihormati. |
Pengabdian ( veyyavacca ) | Menghasilkan banyak pengikut, asisten yang loyal, teman yang setia. |
Mengirim jasa ( pattidana ) | Memiliki harta berlimpah dalam kelahiran yang akan datang. |
Berbahagia atas perbuatan baik pihak lain ( anumodana ) | Kegembiraan dimanapun ia dilahirkan kelak. |
Mendengarkan ajaran(dhammasavana ) | Bijaksana, pandai, dan berpengetahuan luas. |
Membabarkan ajaran ( dhammadesana ) | Bijaksana, pandai, dan berpengetahuan luas. |
Meluruskan pandangan hidup ( ditthijjukamma ). | Bijaksana dan pandai. |
Menurut agama Buddha, seseorang akan diberkati dengan kekayaan dan kebangsawanan bila ia melakukan empat hal :
1. Memberi pada waktu yang tepat.
2. Memberi tanpa sikap menghina atau angkuh.
3. Memberi dengan tulus hati.
4. Tidak mengharap balasan.
( Sutra Pertanyaan Sumati, Sutra 30 dari Maharatnakuta ).
Seorang umat awam ditekankan untuk melaksanakan tiga karma bajik pertama, yaitu : 1). Berdana ( dana ), 2). Moralitas ( Sila ), 3). Pengembangan Mental / Meditasi ( Bhavana ).
■ Kamma baik yang akan masak di alam berbentuk :
Inilah lima macam kegembiraan luar biasa ( Rupa Jhana ) yang semata-mata bersifat mental, yang diperoleh melalui pemurnian batin dengan menjaga Sila dan Samadhi yang terus-menerus :
1. Jhana pertama, kesadaran moral yang terdiri dari penerapan awal ( vitakka ), penerapan terus menerus ( vicara ), perhatian yang menyenangkan ( piti ), kebahagiaan ( sukha ), dan pemusatan perhatian ( ekaggata ),
2. Jhana kedua, kesadaran moral yang terdiri dari penerapan terus menerus (vicara), perhatian yang menyenangkan (piti), kebahagiaan (sukha) dan pemusatan perhatian (ekaggata).
3. Jhana ketiga, kesadaran moral yang terdiri dari perhatian yang menyenangkan (piti), kebahagiaan, dan pemusatan perhatian (ekaggata).
4. Jhana keempat, kesadaran moral yang terdiri dari kebahagiaan (sukha) dan pemusatan perhatian (ekaggata), dan
5. Jhana kelima, kesadaran moral yang terdiri dari keseimbangan ( upekkha ) dan pemusatan perhatian (ekaggata). Jhana-jhana ini mempunyai akibat yang sesuai di Alam Berbentuk.
■ Kamma baik yang akan masak di Alam Tak Berbentuk :
Inilah empat Arupa Jhana yang mempunyai akibat yang selaras di Alam Tak Berbentuk, yaitu :
1. Kesadaran moral yang berada di “ Ruang yang Tidak Terbatas “ ( Akasanancayatana ),
2. Kesadaran moral yang berada di “ Kesadaran yang Tidak Terbatas “,
3. Kesadaran moral yang berada di “ Kehampaan “ ( Akincannayatana ),
4. Kesadaran moral dimana Tidak Ada Pemahaman bukan pula Ada Pemahaman ( N’eva sanna ‘asannayatana ).
Pelajaran yang diperoleh dari Kamma
Bilamana kita hidup dalam penerangan hukum kamma, maka akan dapat memetik pelajaran yang indah dan bermanfaat, antara lain:
a. Kesabaran, hukum kamma adalah pelindungm kita, bila hidup kita selaras dengan hukum tersebut, maka tidak ada suatu yang dapat menimpa, merugikan atau mencelakakan kita. Kesabaran membawa ketenangan, ketentraman, kebahagiaan diri kita.
b. Keyakinan, ragu-ragu dan gelisah adalah tanda, bahwa terdapat kurang pengertian dan keyakinan akan kebenaran hukum kamma. Hukum kamma membuat orang berdiri diatas kakinya sendiri dan meneguhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri.
c. Pengendalian diri, perbuatan jahat akan kembali menimpa kita sebagai mala petaka, kayakinan kita dengan kamma akan membuat kita mampu untuk mengendalikan diri, terutama keinginan untuk kejahatan. Memperoleh Kemampuan, untuk tidak hanya menentukan nasib sendiri di kemudian hari, tetapi juga untuk menolong makhluk lainnya dengan lebih bermanfaat. Melaksanakan kamma aik, sekali berkembang akan menghilangkan rintangan dan kejahatan untuk kemudian menghancurkan belenggu yang menghalangi kita kea rah Kesunyataan atau Kenyataan mutlak, yaitu Nibbana.
d. Percaya pada diri sendiri, jika di dalam waktu yang lampau kita telah membuat diri yang kurang ini, maka apa yang kita perbuat sekarang menentukan nasib kita yang akan dating. [12]
Segala keadaan yang ada pada diri seseorang, kaya, miskin, cantik, jelek, pandai, bodoh, dan sebagainya adalah karena hasil dari hukum karma masing-masing. Semua makhluk mewarisi dan memiliki karmanya masing-maisng, terlahir dari karmanya sendiri, serta terlindungi oleh karmanya sendiri.
[1] Sri Dhamananda, Keyakinan Umat Hindu, hal.88-90
[2] Dhammacitta.org
[3] Samaggi-phala.or.id
[4] M. U. Sumantri, Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 92
[5] M. U. Sumantri, Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 102 dan 106.
[6] Majelis Budhayana Indonesia , Kebahagiaan dalam Dhamma, hal. 62-66
[7] D. S. Marga Singgih, Tridharma Suatu Pengantar, hal.8-9
[8] Sri Dhamananda, Keyakinan Umat Buddha, hal.123
[9] Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma-Sari, hal.104
[10] Gillian Stokes, Budha: Seri Siapa Dia?,hal. 62-64
[11] Carnelis Wowor MA, Hukum Karma Budhis, hal. 1-65
[12] M.U Sumantri, Kebahagiaan Dalam Dhamma, hal. 191-192.