Senin, 31 Oktober 2011

CANDI PENINGGALAM KERAJAAN MATARAM LAMA


A.    Candi Yang Bersifat Hindu
Candi gunung Wukir:

Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.
  Reruntuhan Candi Induk
 
Yoni yg berada di candi induk
Satu hal yang membuat candi ini berbeda dari candi-candi lainnya adalah candi ini merupakan tempat ditemukannya Prasasti Canggal yang tertanggal 732 Masehi, berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti tersebut menceritakan mengenai Raja Sanjaya yang gagah berani menaklukkan musuh-musuhnya. Raja Sanjaya diceritakan kemudian membangun sebuah lingga diatas sebuah bukit sebagai tanda kemenangannya. Diduga candi ini merupakan tempat didirikannya lingga tersebut. Sayang, lingga tersebut tidak ada. Kini, Prasasti Canggal disimpan di Museum Nasional di Jakarta.
Candi Dieng:
Secara administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) dengan ketinggian kurang lebih 2088 m DPL dengan suhu rata-rata 13-17 C, berada di lokasi wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga. Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang-kadang masih menampakan aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik, yang berupa gas / uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga dataran tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan sejarah yang menarik.
 
Dataran tinggi Dieng dianggap merupakan suatu tempat yang memiliki kekuatan misterius sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berkaitan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi dan candi Puntadewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Tokoh siapa yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun.
  
Dari prasasti batu yang ditemukan, menyebutkan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi, dari informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat suci Agama Hindu digunakan kurang lebih 4 abad. Dari sisi arsitektur candi-candi di komplek agak berbeda dibandingkan dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama candi Bima. Bentuk bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat adanya hiasan Kudu yaitu hiasan kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela.
Candi Argopuro:
Bagi masyarakat sekitar Gunung Argopuro, kisah Dewi Rengganis sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Begitu kuatnya pengaruh Dewi Rengganis, sehingga pada tiap tahun sering diadakan upacara syukuran di pusara Dewi Rengganis yang berada di puncak Gunung Welirang. Letak puncak Welirang tak terlalu jauh dengan puncak Argopuro. Di kedua gunung inilah awal mula kisah Dewi Rengganis dimulai. Konon, pada zaman dahulu hidup seorang putri cantik dari selir raja Majapahit. Karena merasa malu mempunyai anak perempuan akhirnya Dewi Rengganis ditinggal di puncak gunung. Pada waktu Dewi Rengganis ditinggal seorang diri, datang seorang pertapa tua, orang tua inilah yang merawat Dewi Rengganis hingga dewasa. Diasuhnya ia dengan penuh kasih sayang dan diajarkannya ilmu kanuragan.
Menginjak dewasa kesaktian Dewi Rengganis terus meningkat, seiring dengan itu raut-raut wajahnya yang putih bersih mulai bersinar, membuat orang terpesona melihatnya. Banyak para petinggi kerajaan yang hendak meminangnya, tapi semuanya ditolak karena tak ada yang sanggup menandingi kesaktiannya.`Dengan kesaktiannya, ia bermaksud membangun sebuah istana megah di atas puncak gunung. Tepat pada saat bulan purnama, dengan bantuan para pengikutnya proses membangun istana pun dimulai.`Ternyata rencana itu telah tercium oleh Van De Boor, pimpinan pasukan Belanda yang bermarkas di Cisentor. Van De Boor langsung mengirimkan pasukannya untuk menggagalkan maksud Dewi Rengganis.`Meskipun niat untuk membangun istana gagal, sisa-sisa bangunannya masih dapat terlihat jelas. Batu berbentuk punden berundak banyak ditemukan di sekitar puncak. Bahkan sebelum dirusak oleh tangan-tangan jahil, patung peninggalan Dewi Rengganis masih terlihat utuh. Memang sangat disayangkan hilangnya sebagian sisa-sisa istana. Kita tak dapat melihatnya lagi, hanya cerita yang didapat. Bila mendengar kisahnya, membuat hati meringis merindukan kembalinya sisa-sisa bangunan istana Dewi Rengganis.
Candi Ijo:
Candi Ijo adalah candi yang letaknya paling tinggi di Yogyakarta yang menyuguhkan pesona alam dan budaya serta pesawat yang tengah landing. Candi inilah yang membuat landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur. Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati. Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.
Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari. Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.
Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu. Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah “Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa.” Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.
Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur. Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.
Candi Gedong Songo:
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi. Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi). Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C). Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.
Candi Gebang:
Di kawasan utara Jogja, sekitar 12 km dari pusat kota, terdapat sebuah candi yang orang mungkin tidak banyak tau. Walau terletak di kawasan yang padat penduduknya, keberadaan candi ini seolah-olah masih terkucilkan. Candi Gebang, candi mungil ini ditengarai merupakan candi bercorak Hindu tertua di Jogja, bahkan diperkirakan lebih tua dari Candi Kalasan, candi Budha tertua di Jogja itu. Menuju ke sini, seakan-akan memberikan kesan kontras. Candi yang terletak di Desa Gebang, Kelurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, yang merupakan kawasan pemukiman padat ini ternyata kondisinya cukup memprihatinkan. Candi ini tidak besar, berukuran sekitar 5,25 x 5,25 meter dengan tinggi 7,75 meter, terletak tepat di tengah-tengah halaman yang banyak ditumbuhi pohon sukun dan akasia. Tidak banyak informasi mengenai latar belakang dibangunnya candi yang ditemukan pada bulan November 1936 ini. Bahkan siapa raja yang membangun dan maksudnya apa juga masih misteri.
Berawal dari penemuan sebuah arca Ganesha oleh penduduk, yang setelah ditelusuri rupanya arca ini merupakan bagian dari bangunan candi. Tidak ada prasasti yang ditemukan sehingga usia candi hanya bisa diperkirakan dari corak dan bentuk fisik bangunan candi. Candi ketika ditemukan kondisinya sangat mengenaskan, yaitu berupa reruntuhan bangunan. Pemugaran kembali candi ini kemudian dilakukan pada tahun 1937 dan selesai pada tahun 1939 di bawah pimpinan ilmuwan Belanda, Prof. Dr. Ir. Van Romondt. Ciri-ciri fisik bangunan menunjukkan bahwa candi ini bernafaskan Hindu, dengan ditemukannya arca Ganesha, Yoni, dan Lingga. Seluruh tubuh candi ini sangat polos, tanpa ukiran relief, tidak seperti candi Hindu lainnya. Kalau pun ada, kesannya masih sangat sederhana. Dari sinilah diperkirakan, candi ini dibangun pada awal-awal abad ke-7, sekitar tahun 730 sampai 800 M. Candi ini menghadap ke timur, dengan sebuah ruangan berisi Yoni dengan cerat menghadap utara tanpa Lingga. Pada bagian atas pintu masuk, terdapat semacam kanopi dengan hiasan Kala yang sederhana.
 
Uniknya, tidak menemukan tangga untuk masuk ke dalam ruangan ini yang biasanya berhiaskan Makara. Di kanan-kiri pintu masuk, hanya ditemukan arca Nadiswara pada sebelah kanan, sedangkan arca Mahakala di sebelah kiri tidak ditemukan. Dinding candi sebelah utara dan selatan hanya ditemukan relung kosong, sedangkan di bagian barat terdapat arca Ganesha yang berada pada sebuah Yoni dengan cerat menghadap utara. Menilik dari ciri candi Hindu yang semasa, seperti yang dapat dilihat pada Candi Sambisari dan pada candi ketiga pada kompleks Candi Gedong Songo, seharusnya relung di sebelah utara diisi oleh arca Agastya dan di sebelah selatan adalah arca Dewi Durga. Kaki candi berupa teras yang tinggi tanpa ukiran relief apa pun juga menunjukkan usia tua dari candi.
Melihat ke atap, ada sesuatu yang berbeda bila dibandingkan dengan candi-candi Hindu lainnya. Atap yang terdiri atas 3 tingkat ini cukup unik dan menarik. Pada tingkat pertama, terdapat sebuah relung dengan relief kepala manusia pada keempat sisinya. Dari bentuk penutup kepala manusia ini, diperkirakan merupakan gambaran pendeta Hindu. Hal ini diperkuat dengan sebuah relung berhias Kala-Makara pada atap tingkat kedua yang kali ini berupa sosok manusia yang sedang duduk bersila. Pada bagian puncak, atapnya tidak berbentuk Ratna atau Stupa, namun merupakan Lingga silinder yang berada di atas Seroja. Coba merunut apabila Lingga di atap ini ditarik garis lurus, posisinya tepat berada di tengah-tengah Yoni yang ada di dalam candi. Hal ini diperkuat dengan adanya relung pada bagian atap sebelah dalam candi. Hiasan Lingga di atas Seroja ini juga ada pada masing-masing tingkat atap. Selain itu, hiasan berupa Antefix pun dapat kita temukan pada tingkat bagian atas. Dari ukiran-ukiran arca pendeta Hindu ini, bisa jadi candi ini sering digunakan oleh para pendeta untuk menenangkan diri dan bertapa. Hal ini didukung dengan suasana nyaman, sejuk, dan asri karena di sekeliling terdapat pohon-pohon yang rindang.
Candi Pringapus:
Obyek wisata lain di Kabupaten Temanggung yang menarik dikunjungi adalah Candi Pringapus. Sebagaimana candi-candi lainnya, Candi Pringapus tidak hanya menawarkan wisata arkeologi, tetapi juga wisata sejarah, wisata budaya dan wisata pendidikan. Sesuai dengan namanya, candi ini terletak di Desa Pringsurat Kecamatan Ngadirejo sekitar 22 Km dari arah barat lauta Kota Temanggung. Umurnya sudah cukup tua, yang diperkirakan dibangun pada tahun 850 dan rampung dua tahun kemudian. Arca-arcanya bercorak Hindu Siwaistis. Jika dicermati, bentuk bangunanya merupakan replika Mahameru yang menjadi lambang tempat tinggal para dewata. Hal ini bisa dibuktikan dari adanya hiasan antefiq dan relief hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus mengingatkan kita pada candi-candi yang ada di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo dan Candi Gegongsongo di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Bentuknya hamper sama, Kebetulan ketiga komplek candi ini berada di kawasan yang berdekatan, sehingga memiliki banyak kesamaan, baik dalam bentuk maupun kebudayaan masyarakat saat itu. Komplek Candi Gedongsongo di Sebelah Utara Candi Pringapus dan komplek Candi Dieng di sebelah baratnya.
Karakteristik  Candi
Sebagaimana candi-candi di Dieng dan Gedongsongo, seluruh bagian depan dinding Candi Pringapus dalam kondisi tertutup.Bagaimana yang terbuka hanya dinding sebelah barat, berfungsi sebagai pintu keluar masuk. Bentuknya menyerupai altar dan terlihat gagah. Di sisi kiri dan kanan pintu terdapat relief nan indah, menggambarkan sepasang dewa dari kahyangan. Di bagian dalam, pengunjung bisa melihat nandi berukuran besar, yang menjadi sandaran Dewa Siwa. Tinggi Nandi melebihi tinggi pintu, sehingga diperkirakan dibuat erlebih dahulu sebelum proses pembangunan pintu. Berbeda dengan Candi Gondosuli yang sudah tidak terlihat bentuknya Candi Pringapus relief masih utuh. Karakteristiknya yang unik membuat banyak wisatawan asing datang ke sini, terutama dari Belanda, Belgia dan AS. Saat liburan, tempat ini ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah termasuk anak-anak sekolah. Candi Pringapus pertama kali disebut Junghuhn dalam daftar reruntuhan candi-candi Jawa, yang didasarkan pada gambar Hoepermans. Setelah itu, gambar diperbarui oleh Brandes, Van Erp (1909) dan Knebel (1911). Situ ini juga terkait dengan Candi Perot yang ada di dekatnya (sekitar 300 meter), yang runtuh akibat badai besar tahun 1907 (kini hanya terlihat pondasi saja). EMpat tahun sebelumnya, sejumlah arkeolog asing melakukan studi terhadap Candi Perot dan menyusun gambarnya.
Misteri Pertanggalan Candi
Kapan Candi Pringapus dibangun? Ada yang menyebutkan tahun 850, 852 bahkan ada juga yang memperkirakan tahun 900 atau sesudahnya. Menurut seorang arkeolog, Djulianto Susanto (Menentukan Pertanggalan  Candi; 2003), sampai kini belum ada kesimpulan yang pasti mengenai kapan suatu candi mulai dibangun atau didirikan. Dari berbagai data arkeologi, tidak satu pun yang menyiratkan informasi suatu tarikh secara akurat.
Karena itu, ertanggalan yang diberikan para arkeolog selalu diimbuhi kata-kata “kemungkinan (besar” atau “ diperkirakan didirikan pada abad kesekian pada masa kerajaan anu”. Bukan “didirikan pada tahun sekian oleh raja anu”. Arkeolog Belanda EB Vogler pernah melakukan penelitian terhadap hiasan kala makara diatas pintu candid an sejarah politik kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah. Hasilnya dipetakan menjadi lima periode pertanggalan yaitu :
a.       Periode I, yaitu masa sebelum tahun 650. Ia memperkirakan, ketika itu sudah ada bangunan ang terbuat dari bahan-bahan yang mudah rusak dan lapuk sehingga tanda-tanda arsitekturalnya tidak tersisa lagi.
b.      Periode II (650-760), yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu. Gaya bangunan dipengaruhi oleh arsitektur Pallawa yang berasal dari India Selatan. Bangunan-bangunan candi dari periode ini pun sudah rusak, dan tidak mudah teridentifikasi.
c.       Periode III (760-812), pada masa Dinasti Syailendra. COntoh bangunannya adalah Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan sari.
d.      Periode IV (8120\-928), Pengaruh asing terutama gaya Chandiman (India) mulai memperkaya unsure-unsur candi. Contohnya antara lain Prambanan, sariwanm Plaosan dan Ngawen.
e.       Periode V, yang berlangsung tahun 928 hingga akhir masa Hindu-Jawa. Bangunannya merupakan perkembangan dari gaya-gaya sebelumnya. Bangunan dari periode ini mulai diperkaya dengan unsur-unsur kesenian Jawa Timur, terutama bentuk kala. Contoh bangunannya antara lain Candi Pringapus, Sembodro, Ratna dan Srikandi.
 
Candi Prambanan:
Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, berketinggian 47 meter, dibangun pada abad 9. Letaknya berada 17 km arah timur Yogyakarta di tepi jalan raya menuju Solo. Candi yang utama yaitu Candi Siwa (tengah), Candi Brahma (selatan), Candi Wisnu (utara). Didepannya terletak Candi Wahana (kendaraan) sebagai kendaraan Trimurti; Candi Angkasa adalah kendaraan Brahma (Dewa Penjaga), Candi Nandi (Kerbau) adalah kendaraan Siwa (Dewa Perusak) dan Candi Garuda adalah kendaraan Wisnu (Dewa Pencipta). Pada dinding pagar langkan candi Siwa dan candi Brahma dipahatkan relief cerita Ramayana , sedangkan pada pagar langkah candi Wisnu dipahatkan relief Krisnayana. masuk candi Siwa dari arah timur belok ke kiri akan anda temukan relief cerita Ramayana tersebut searah jarum jam, relief cerita selanjutnya bersambung di candi Brahma. Candi Prambanan dikenal kembai saat seorang Belanda bernama C.A.Lons mengunjungi Jawa pada tahun 1733 dan melaporkan tentang adanya reruntuhan candi yang ditumbuhi semak belukar. Usaha pertama kali untuk menyelamatkan Candi Prambanan dilakukan oleh Ijzerman pada tahun 1885 dengan membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan batu. Pada tahun 1902 baru dimulai pekerjaan pembinaan yang dipimpin oleh Van Erp untuk candi Siwa, candi Wisnu dan candi Brahma. Perhatian terhadap candi Prambanan terus berkembang. Pada tahun 1933 berhasil disusun percobaan Candi Brahma dan Wisnu. Setelah mengalami berbagai hambatan, pada tanggal 23 Desember 1953 candi Siwa selesai dipugar. Candi Brahma mulai dipugar tahun 1978 dan diresmikan 1987. Candi Wisnu mulai dipugar tahun 1982 dan selesai tahun 1991. Kegiatan pemugaran berikutnya dilakukan terhadap 3 buah candi perwara yang berada di depan candi Siwa, Wisnu dan Brahma besarta 4 candi kelir dan 4 candi disudut / patok.
Kompleks candi Prambanan dibangun oleh Raja-raja Wamca (Dinasty) Sanjaya pada abad ke-9. Candi Prambanan merupakan kompleks percandian dengan candi induk menghadap ke timur, dengan bentuk secara keseluruhan menyerupai gunungan pada wayang kulit setinggi 47 meter. Agama Hindu mengenal Tri Murti yang terdiri dari Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang Perusak. Bilik utama dari candi induk ditempati Dewa Shiwa sebagai Maha Dewa sehingga dapat disimpulkan candi Prambanan merupakan candi Shiwa. Candi Prambanan atau candi Shiwa ini juga sering disebut sebagai candi Loro Jonggrang berkaitan dengan legenda yang menceritakan tentang seorang dara yang jonggrang atau gadis yang jangkung, putri Prabu Boko, yang membangun kerajaannya diatas bukit di sebelah selatan kompleks candi Prambanan. Bagian tepi candi dibatasi dengan pagar langkan, yang dihiasi dengan relief Ramayana yang dapat dinikmati bilamana kita berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat cansi selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu. Cerita itu berlanjut pada pagar langkan candi Brahma yang terletak di sebelah kiri (sebelah selatan) candi induk. Sedang pada pagar langkan candi Wishnu yang terletak di sebelah kanan (sebelah utara) candi induk, terpahat relief cerita Kresnadipayana yang menggambarkan kisah masa kecil Prabu Kresna sebagai penjelmaan Dewa Wishnu dalam membasmi keangkaramurkaan yang hendak melanda dunia.
Bilik candi induk yang menghadap ke arah utara berisi parung Durga, permaisuri Dewa Shiwa, tetapi umumnya masyarakat menyebutnya sebagai patung Roro Jonggrang, yang menurut legenda, patung batu itu sebelumnya adalah tubuh hidup dari putri cantik itu, yang dikutuk oleh ksatria Bandung Bondowoso, untuk melengkapi kesanggupannya menciptakan seribu buah patung dalam waktu satu malam. Candi Brahma dan candi Wishnu masing-masing memiliki satu buah bilik yang ditempati oleh patung dewa-dewa yang bersangkutan. Dihadapan ketiga candi dari Dewa Trimurti itu terdapat tiga buah candi yang berisi wahana (kendaraan) ketiga dewa tersebut. Ketiga candi itu kini sudah dipugar dan hanya candi yang ditengah ( di depan candi Shiwa) yang masih berisi patung seekor lembu yang bernama Nandi, kendaraan Dewa Shiwa.
Patung angsa sebagai kendaraan Brahma dan patung garuda sebagai kendaraan Wishnu yang diperkirakan dahulu mengisi bilik-bilik candi yang terletak di hadapan candi kedua dewa itu kini telah dipugar. Keenam candi itu merupakan 2 kelompok yang saling berhadapan, terletak pada sebuah halaman berbentuk bujur sangkar, dengan sisi sepanjang 110 meter. Didalam halaman masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi pengapit dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah berdiri di sebelah utara dan yang lain berdiri di sebelah selatan, 4 buah candi kelir dan 4 buah candi sedut. Halaman dalam yang dianggap masyarakat Hindu sebagai halaman paling sacral ini, terletak di tengah halaman tengah yang mempunyai sisi 222 meter, dan pada mulanya berisi candi-candi perwara sebanyak 224 buah berderet-deret mengelilingi halaman dalam 3 baris.
Candi Sambisari:
Candi Sambisari terletak di desa Sambisari Kelurahan Purwomartani, lebih kurang 12 km dari pusat Yogyakarta . Nama Sambisari adalah nama sebuah daerah dengan areal persawahan yang subur di Daerah Istimewa Yogayakarta dimana candi itu berada. Untuk mencapai lokasi candi yang terletak sekitar 12 km ke arah timur dari kota Yogyakarta di sebelah utara dari jalan utama antara Yogyakarta dan Solo, dapat ditempuh dengan naik bus jurusan Yogya-Solo sampai kilometer 10 dimana terdapat papan penunjuk jalan menuju candi. Dari tepi jalan besar ini, perjalanan masih sekitar 2 km lagi yang dapat ditempuh dengan naik alat transportasi lokasl, seperti ojek atau dokar/sado. Candi Sambisari diketemukan sekitar tahun 1966 takkala seorang petani dengan tidak sengaja telah membenturkan cangkulnya pada puncak candi yang terbenam di tanah peladangannya. tetapi dia sempat keheranan saat cangkulnya menyentuh benda keras berupa batu-batu berukir yang diduga merupakan bagian dari reruntuhan sebuah candi. Nama petani itu adalah Karyoinangun yang pertama kali menemukan kembali sebuah kompleks candi yang kemudian diberi nama candi Sambisari sesuai nama daerah ditemukannya candi tersebut. Menindaklanjuti penemuan tersebut oleh pihak Balai Arkeologi Yogyakarta dilakukan penelitian dan penggalian. Dari hasil penggalian tersebut pada Juli 1966 diperoleh kepastian bahwa daerah tersebut terdapat sebuah situs candi dan dinyatakan sebagai daerah suaka budaya. Setelah itu dimulailah proses penyusunan kembali reruntuhan kompleks candi yang runtuh karena goncangan dan terpendam dari material letusan gunung Merapi ini diperkirakan dari penelitian geologis terhadap material batuan dan tanah yang menimbun komplek candi. Tahun 1987 pemugaran dan melakukan rekontruksi ulang terhadap kompleks candi dapat diselesaikan dengan posisi candi pada kedalaman 6,5 meter dari permukaan tanah sekitar atau sering juga candi Sambisari disebut sebagai candi bawah tanah. Tetapi sebagian ahli arkeologi memperkirakan dulunya situs candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya. Berdasarkan penelitian geologis terhadap batuan candi dan tanah yang telah menimbunnya selama ini, candi setinggi 6 m ini telah terbenam oleh material Gunung Merapi dalam letusan yang hebat pada tahun 1006. Candi Sambisari merupakan candi Hindu dari abad ke-10 yang diperkirakan dibangun oleh seorang Raja dari dinasti Sanjaya, dengan patung Shiwa sebagai mahaguru menepati bilik utamanya.
Kompleks candi Sambisari berlokasi berdekatan dengan bangunan candi yang lain misal Prambanan, Kalasan, Sari. Lokasi candi Sambisari berjarak sekitar 5 km dari kompleks candi Prambanan kearah barat atau sekitar 14 km dari pusat kota Yogyakarta ke arah timur. Candi Sambisari merupakan candi Hindu beraliran Syiwaistis dari abad ke-X dari keluarga Syailendra ini berada di wilayah kabupaten Sleman propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat penggalian kompleks candi Sambisari juga ditemukan benda-benda bersejarah lainnya, misalnya perhiasan, tembikar, prasasti lempengan emas. Dari penemuan tersebut didapat perkiraan bahwa candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M saat pemerintahan Raja Rakai Garung dari Kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno). Kondisi kompleks candi Sambisari sangat terawat dan bersih dan banyak wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara banyak berdatangan mengunjunginya dan menjadi satu paket kunjungan wisata budaya dengan kompleks candi lain di sekitarnya khususnya candi Prambanan yang sudah lebih terkenal. Kompleks candi Sambisari saat ini tampak dengan empat buah bangunan candi dengan dibatasi oleh tembok mengelilinginya dengan total luas 50 x 48m pada posisi di sekeliling tanah yang telah diadakan penggalian. Pada bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65m pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x5m. Diperkirakan kompleks candi tidak hanya seluas itu tetapi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut tetapi dikwatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya. Pintu masuk ke dalam kompleks candi Sambisari pada keempat sisi bujur sangkar dengan menuruni tangga.
Candi Sambisari berada di bawah permukaan tanah sedalam 6,5 meter. Padahal kenyataannya tinggi candi hanya 7,5 meter. Karenanya, jika dilihat dari samping, candi ini seakan muncul dari bawah tanah. Bagian bawah candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 13,65 m x 13,65 m. Sedangkan badan candi berukuran 5 m x 5 m. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke IX - X M. Karena letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah di sekitar ini tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi. Pintu masuk candi menhadap ke arah barat. Tangga untuk masuk dilengkapi dengan sayap. Di ujung sayap tangga terdapat relief Makara yang disangga oleh dua belah tangan makhluk kate. Keunikan yang lain, candi ini tidak memiliki pilar penyangga. Sehingga bagian dasarnya sekaligus berfungsi sebagai pilar penyangga candi. Di bagian ini terdapat selasar yang mengelilingi badan candi, dan memiliki 12 anak tangga.
 
Pada bagian luar badan candi terdapat relung-relung untuk menaruh patung. Yang masih ada kini adalah patung Durga di sebelah utara, patung Ganesha di sisi timur, dan patung Agastya di bagian selatan. Dua relung lain yang ada di kanan dan kiri pintu, untuk patung dewa penjaga pintu, yaitu Mahakala dan Nadisywara. Sayang sekali kedua patung itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Sedangkan pada bilik di dalam badan candi terdapat patung Yoni dan Lingga berukuran besar. Selain candi induk tersebut, di depan candi ada 3 buah candi perwara atau candi pendamping. Ukuran dasarnya 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi 5 meter. Namun candi-candi perwara itu belum dipugar sempurna. Sedangkan di seputar candi terdapat pagar tembok batu putih berukuran 50 m x 48 m. Saat ini saluran pembuangan air telah selesai dibangun, sehingga selama musim hujan candi tidak terbenam air. Ketika diadakan penggalian candi Hindu Syiwaistis ini, ditemukan juga benda-benda bersejarah. Di antaranya beberapa tembikar, perhiasan, cermin logam serta prasasti lempengan emas. Dari situ diperoleh prakiraan, bahwa Candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M, sewaktu Kerajaan Mataram Hindu atau Mataram Kuno diperintah Raja Rakai Garung dari Dinasti Syailendra.
Keunikan Candi
Candi ini terletak sekitar 12 km ke arah timur dari kota Yogyakarta di sebelah utara dari jalan utama antara Yogyakarta dan Solo. Candi Sambisari adalah candi yang sangat unik, candi ini terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah.Itu sebabnya, sering juga candi Sambisari disebut sebagai candi bawah tanah. Tetapi sebagian ahli arkeo-logi memperkirakan dulunya situs candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya. Candi ini dibangun pada abad ke-10. Karena letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah di sekitar ini tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi. Bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65m pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x5m. Diperkirakan kompleks candi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut, tetapi dikhawatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya.
Candi Perot:
Letak candi perot kini berpindah tempat. Kini semua batu candi perot berpindah di pelataran halaman candi pringapus, kurang jelas mengapa candi ini tidak di bangun kembali. Tempat asal candi perot berada kini menjadi sebuah hutan bambu yang menurut warga sekitar terkesan angker. Candi perot kemungkinan berbentuk hampir sama dengan bentuk candi pringapus, sebab di temukan banyak kecirian seperti bentuk relief ornamennya, dan bentuk beberapa batu artefak candi namun kemungkinan juga berbeda sebab di reruntuhan candi perot tidak di ketemukan arca nandi. Dan di candi perot sendiri terdapat sebuah jaladwara dan arca durga, kemungkinan bentuknya agak sedikit berbeda namun sebagai bentuk dasarnya hampis sama. Dan kemungkinan juga di dalam ruangan candi berupa sebuah lingga yoni, tidak seperti di candi pringapus yang mempunyai arca nandi. Situs ini sendiri berada di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung, jawa tengah. Kurang jelas tindak lanjut seterusnya tentang candi perot, apa tetap berada di pringapus atau mau di kembalikan dan di rekonstriksi di tempat asalnya.
Reruntuhan Candi Perot yang berada di pelataran halaman Candi Pringapus (Gambar: 1). Reruntuhan Candi Perot yang kemungkinan bentuknya serupa dengan bentuk Candi Pringapus (Gambar: 2)
Yoni yang di percaya di dalam ruangan candi terdapat yoni tersebut. (Gambar. 1). Arca durga tanpa kepala yang sedang menunggangi seekor nandi. (Gambar. 2)
B.     Candi Yang Bersifat Budha
Candi Borobudur:
Borobudur merupakan salah satu keajaiban dunia yang berada di Indonesia. Bangunan kuno ini begitu banyak menyimpan sejarah. Mulai dari sejarah dibangunnya hingga terbenam akibat letusan gunung berapi dan pada akhirnya ditemukan kembali ke permukaan. Saya memposting artikel ini terinspirasi dari salah satu komentar yang bertanya “Siapa yang membangun Borobudur?”. Sebenarnya sejarah ini banyak diceritakan dalam buku dan di dunia maya. Berikut Sejarahnya: Borobudur terletak di pulau Jawa, berjarak 40 km sebelah barat laut kota Yogyakarta, Bangunan kuno ini merupakan stupa tertua dan juga kompleks stupa terbesar di dunia. Namanya tercatat sebagai pewarisan budaya dunia oleh UNESCO dan dianggap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Borobudur didirikan pada abad ke 8 dan 9, kemungkinan oleh dinasti Syailendra yang kala itu memerintah pulau Jawa, pembangunan proyek tersebut berlangsung selama 75 tahun.
Konon raja Asoka-India pernah membagi relik (salira) dari Buddha Sakyamuni menjadi 84.000 butir dan menyebarkan serta menguburnya di seluruh pelosok dunia. Demi menyimpan sarira asli dari Buddha Sakyamuni, kerajaan Syailendra telah memobilisasi beberapa puluh ribu orang, barulah menyelesaikan bangunan indah nan megah dan berskala besar tersebut. Borobudur berbentuk piramida berundak, terbagi atas 9 lapis lantai, 6 lantai bagian bawah berbentuk platform bujur sangkar, lingkaran terluarnya dipenuhi dengan galeri relief, merupakan gudang pusaka seni pahat yang tersohor di dunia, dengan panjang seluruhnya mencapai 2,5 km, sehingga Borobudur bersama dengan piramida Mesir, Tembok Besar-Tiongkok dan Angkor Wat-kambodja dinamakan sebagai 4 keajaiban kuno dari timur. Ia tersusun oleh 1.600.000 buah batu cadas gunung berapi dan dibangun di atas bukit cadas kerdil dengan 265 m ketinggian dari atas permukaan laut, adalah stupa Buddha tunggal terbesar di dunia. Asal muasal nama “Borobudur” diperkirakan dari bahasa Sansekerta yakni “Vihara Buddha Ur”, yang bermakna “kuil Buddha dari puncak gunung”.
Sebuah patung Buddha dengan posisi simpul tangan/mudra: Mudra Memutar Roda Hukum / Dharmacakramudra. (wikipedia)
Saat Ditemukan
Pada 1006 dalam sebuah letusan dahsyat gunung berapi, Borobudur terkubur di bawah berlapis-lapis abu gunung berapi, situs kuno agama Buddha yang terkubur dan terlelap dalam tidurnya hingga pada suatu hari di tahun 1814 baru ditemukan kembali dari balik lebatnya hutan belantara tropis. Kala itu Raffles wakil gubernur Inggris untuk Jawa yang sedang menduduki pulau Jawa, mendengar cerita para pemburu dan penduduk tentang sebuah candi besar yang tersembunyi di dalam hutan belantara, maka ia mengutus insinyur WN-Belanda untuk melakukan survey, akhirnya Borobudur melihat kembali sinar sang surya. Pada 1973 melalui bantuan Unesco, yang melancarkan restaurasi berskala besar barulah Borobudur memancarkan wajahnya seperti yang terlihat hari ini.Kenapa Borobudur 100 tahun setelah selesai dibangun orang-orang Jawa tidak berkunjung lagi ke tempat tersebut, bahkan telah mencampakkan komplek tersebut, hingga kini masih saja merupakan sebuah misteri.Relief Menunjukkan Taraf Alam Tiga Dunia. Karakter manusia di dalam tiga dunia agama Buddha, Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu yang terpampang pada relief.
 
Candi Kalasan:
Sedulur yang sering melewati jalan Surakarta-Yogyakarta, pasti terbiasa disuguhi dengan pemandangan candi di pinggir jalan menjelang masuk Kota Yogyakarta. Yang paling diingat pasti Candi Prambanan, karena candi itu memang besar dan terkenal, baik di dunia nyata maupun di dunia legenda. Tentunya banyak yang pernah membaca cerita legenda Rara Jonggrang, seorang putri raja yang menipu pagi karena enggan dipersunting Prabu Baka yang walaupun seorang raja adalah musuh sang putri karena telah menahlukkan kerajaan sang putri bahkan telah membunuh raja, ayah dari sang putri malang si Rara Jonggrang itu. Dari Candi Prambanan, bilamana sedulur melanjutkan perjalanan menuju ke arah Yogyakarta, sesampainya di Desa Kalasan, tidak begitu jauh lagi bersiaplah untuk menengok ke sebelah kiri. Ada sebuah candi kecil yang masih berdiri megah di sana. Dari awal penemuannya pada tahun 1806 oleh Cornelius (foto pertama tahun 1900 oleh Cephas), Candi Kalasan belum pernah dipugar secara total, alias masih berdiri utuh walaupun banyak kerusakan di sana-sini yang sebagian sudah berhasil diperbaiki pada pemugaran tahun 1939-1940.
Menurut catatan dari Prasasti Kalasan yang menggunakan bahasa Sansekerta dengan huruf Prenagari, dengan tanda tahun 700 Caka/778M, Candi Kalasan dibangun pada masa Raja Panangkaran sebagai sebuah kuil yang dipersembahkan untuk Dewi Tara dengan nama Kuil Tarabhawana. Disebutkan pula bahwa di dekat Candi Kalasan itu (500 meter ke arah timur laut) didirikan Asrama Pendeta Budha. Mungkin mirip-miriplah dengan pola pondok pesantren. Candi Kalasan bercorak Budha dengan pola hias utama sulur gelung. Pahatannya terhitung sangat halus dan detail, bahkan pada beberapa bagian dilapisi dengan bajralepa, semacam semen. Di candi ini, terdapat 52 stupa yang sekarang sudah tidak semuanya utuh baik bentuk maupun jumlahnya. Terdapat empat pintu di masing-masing sisinya dengan pintu utama di sisi timur. Sayang sekali, tangga candi sudah sangat rusak sehingga hanya tertinggal sedikit saja sisa tangga untuk menuju pintu-pintunya. Sekilas, bentuk Candi Kalasan mirip dengan Candi Mendut, namun sedikit lebih besar. Ukurannya; tingginya mencapai 24 meter dengan rincian batur = 1 meter, kaki = 3 mater, tubuh candi setinggi 13 meter, dan atap setinggi 7 meter. Sedangkan penampangnya berukuran 16,5 x 16,5 meter.

Candi Sari:
Candi Sari, candi yang terletak sekitar 500 meter di timur-laut Candi Kalasan. Tidak seperti Candi Kalasan, Candi Sari terletak agak ke dalam, sehingga tidak terlihat dari pinggir jalan raya Jogja-Solo. Untuk mencapai ke sana tidaklah susah, di samping sebuah masjid berasitektur mirip gedung Kremlin di Rusia dan Rumah Makan Ayam Bakar Kalasan “Mbok Berek”, ada gang kecil ke utara. Ikuti jalan tersebut kemudian akan sampai di kompleks Candi Sari. Candi yang terletak di Desa Bendan, Kelurahan Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman ini diperkirakan masih satu kawasan dengan Candi Kalasan. Hal ini ditunjukkan oleh faktor jarak yang relatif dekat, penggunaan bajralepa, dan kemiripan corak relief-reliefnya. Pun candi ini diperkirakan dibangun pada masa yang sama dengan Candi Kalasan. Sayang sekali tidak ada pemandu yang akan menemani disana. Kondisi kompleks ini juga sangat memprihatinkan, padahal seharusnya candi cagar budaya yang pemeliharaannya merupakan tanggung jawab Dinas Purbakala ini bisa dijadikan potensi wisata alternatif. Candi ini menghadap ke timur, sama dengan arah Candi Kalasan. Di sekitar candi terdapat batu-batuan bagian candi yang tidak dapat disusun kembali. Beberapa bagian candi bahkan diganti batunya karena tidak ditemukannya batuan penyusunnya.
Secara fisik, candi ini berbentuk balok dengan panjang dan tinggi 17 meter dan lebar 10 meter. Bangunan candi terdiri atas 3 bagian, bagian kaki, tubuh, dan atap. Bagian kaki berupa batu-batuan yang disusun karena diperkirakan pada bagian kaki ini banyak batu-batuan yang hilang. Sekilas, ada semacam jalan memanjang di depan pintu candi dengan hiasan Makara (hiasan kepala ular) di kanan-kirinya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bekas jalan memanjang di depan pintu candi. Badan candi terdiri dari 3 bagian. Pintu masuk berada di tengah dan di kanan kiri berupa jendela berbentuk bujur sangkar. Diperkirakan candi ini terdiri atas 2 tingkat, karena ditemukan semacam pemisah di tengah-tengahnya. Pintu masuk candi dihiasi hiasan Kala pada bagian atas dan pada bagian bawah terdapat ukiran gajah. Ada 3 ruang berukuran sekitar 3×5 meter. Di ruang tengah, di kanan dan kiri dinding terdapat relung yang kosong. Diperkirakan di relung-relung tersebut terdapat patung Budha namun kini telah hilang. Bila mendongak ke atas, akan menemukan celah-celah semacam dudukan kayu. Diperkirakan candi ini juga menggunakan kayu sebagai unsur penyusunnya. Hal ini dibuktikan dengan celah-celah dudukan pada bagian atas yang diperkirakan merupakan lantai atas bangunan yang terbuat dari balok-balok kayu yang disusun berjajar. Selain digunakan sebagai penyusun lantai atas, kayu diperkirakan juga digunakan sebagai penyangga karena ditemukan beberapa lubang tempat dudukan kayu. Di beberapa jendela juga terdapat lubang-lubang di bagian atas dan bawah yang diperkirakan menggunakan kayu sebagai jerujinya. Ruangan-ruangan inilah yang ditengarai digunakan sebagai tempat tinggal (asrama) para pendeta Budha (biksu). Selain tempat tinggal, konon candi ini digunakan sebagai tempat menimba ilmu dan meditasi dan jika akan beribadah para biksu menuju ke Candi Kalasan.
Di tiap sisi, terdapat sepasang relief Bodhisatva dan Dewi Tara, di kanan kiri jendela berbentuk bujur sangkar, di atas dan bawah. Jumlah total relief arca ini ada 36 buah, masing-masing berjumlah 8 arca di sisi timur, selatan, dan utara, sedangkan pada sisi barat (belakang candi) terdapat 12 arca. Arca-arca ini digambarkan dengan posisi berdiri dengan membawa bunga teratai dengan sikap lemah gemulai yang disebut dengan sikap tribangga. Ekspresi wajah arca-arca ini sangat tenang dan pakaian yang dikenakan sederhana, mencerminkan sikap hidup Budha yang sederhana. Ada pahatan lain selain arca yang menghiasi kanan-kiri jendela. Sepasang makhluk berwujud setengah manusia dan setengah burung ini disebut dengan Kinara-Kinari. Ukiran-ukiran berupa sulur-sulur bunga yang keluar dari pot juga kami temukan di dinding candi ini terutama di bagian barat. Ukiran sulur-sulur ini sama dengan ukiran yang ada di Candi Kalasan. Atap candi terdiri atas 9 buah stupa dengan masing-masing berjumlah 3 buah berderet di atas ruangan. Hiasan berupa Kalamakara juga dapat kita temukan di bagian atap. Terdapat lubang bekas pancuran yang disebut dengan Jaladwara berupa raksasa duduk di atas ular yang mana mulut ular tersebut tempat air mengalir keluar. Untuk membedakan antara bagian badan dengan atap candi, terdapat hiasan berupa segitiga berukir. Secara keseluruhan, bangunan candi yang ditemukan pada tahun 1929 ini unik. Berbentuk ramping persegi panjang ditunjang dengan banyaknya ukiran dan penggunaan Bajralepa, membuat candi ini tampak indah, sesuai dengan arti namanya, Candi Sari yang berarti candi yang indah.
 
 
Candi Banyonibo:
Tidak banyak yang tahu soal keberadaan candi ini. Lokasinya yang terpencil, akses jalan yang rusak, membuat candi eksotis ini kurang dikenal. Padahal candi Budha ini masih berdiri megah dan reliefnya masih banyak yang utuh. Candi Banyunibo terletak sekitar 2 km sebelah tenggara petilasan Ratu Boko, tepatnya di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman. Untuk mencapainya cukup mudah sebenarnya. Dari Jalan Raya Jogja-Solo, ketika sampai di pertigaan Prambanan, berbelok ke selatan sekitar 2 km ke arah Piyungan. Kemudian berbelok pada plang petunjuk ke arah petilasan Ratu Boko. Ikuti saja petunjuk ke arah Candi Ratu Boko tersebut sampai mentok perempatan. Ketika sampai di perempatan, akan ada petunjuk jika belok kiri ke arah Boko, maka ambil jalan lurus. Setelah itu akan ada petunjuk ke arah Candi Barong dan Candi Banyunibo. Ambil arah kanan jika ingin ke Candi Banyunibo.
Banyunibo sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “banyu” dan “nibo” yang berarti “air yang menetes”. Entah kenapa candi ini disebut seperti itu, tapi kalo menurut pengamatan dan analisis para budayawan, bentuk atap candi yang terdiri dari sebuah stupa ini mirip-mirip dengan bentuk air ketika menetes dan terpercik ke samping. Dari puing-puing di sekitar, diperkirakan ada 6 buah candi perwara (candi pendamping) berbentuk stupa di sekeliling candi utama di sebelah selatan dan timur. Candi utama menghadap ke barat dan terletak di antara ladang tebu dan persawahan. Inilah sebabnya candi ini dijuluki “si sebatang kara Banyunibo” karena letaknya yang terpencil dan terpisah dari kompleks candi-candi lainnya. Terdiri dari 3 susunan seperti biasa, kaki, badan, dan atap. Bagian kaki yang tingginya sekitar 2,5 m ini dihiasi relief ornamen sulur-sulur yang keluar dari pot. Kemudian antara kaki candi dan badan candi pada sisi selatan, timur, dan utara terdapat Jaladwara (saluran air) berbentuk Makara dengan hiasan Kala di atasnya tepat di tengah-tengah. Untuk berekeliling badan candi, terdapat selasar mengelilingi badan candi.
Seperti biasa, di tangga masuk kita akan menemukan Makara. Pada bagian depan pintu, terdapat 2 jendela tepat di samping pintu dan 2 relief patung dewa di sebelah kanan-kiri jendela. Ada 2 hiasan Kala di atas pintu masuk. Pada lorong pintu, kita akan menjumpai 2 buah relief pada kanan-kiri dinding lorong. Pada dinding sebelah kiri (utara) kita akan menemukan relief seorang wanita yang dikelilingi oleh banyak anak kecil, beberapa di antaranya digambarkan sedang naik pohon. Sedangkan pada sebelah kanan dinding (selatan), alias di depan relief Dewi Hariti, terdapat relief seorang pria dengan sebuah kantong di sisinya serta seekor burung terbang di atasnya. Kalo menurut saya, relief ini menggambarkan kekayaan. Masuk ke dalam ruangan, di sudut sebelah tenggara dekat jendela, ada relief seorang pria yang sedang duduk di bawah payung yang dipegang pengawalnya. Diduga pria ini, yang melihat potongannya merupakan seorang biksu, tokoh yang dihormati di candi ini. Ruangan candi berukuran sekitar 10 x 10 m dengan 8 jendela (sebagian jendela tertutup) dan ada 3 buah relung dangkal pada sisi utara, timur, dan selatan. Pada relung sisi timur, terdapat semacam ukiran tapi ndak jelas ukiran apa itu. Melalui selasar, kita bisa menikmati relief-relief penghias dinding candi. Pada dinding terdapat relief-relief Bodhisatva berdiri gagah membawa tongkat. Pada bagian atas jendela bagian luar, terdapat relief Bodhisatva sedang duduk bersila dengan posisi tangan ke atas membawa bunga di bawah Kala.
Ada gambar Gana, makhluk kerdil dari kahyangan yang dapat ditemukan pada bagian atap Candi Kalasan, menyokong hiasan Kala pada relung sisi selatan pada bagian depan. Atap candi sangat polos. Hanya terdiri atas sebuah stupa pada bagian tengah yang berada di atas bentuk daun bunga padma. Batas antara atap dan badan hanya dipisahkan oleh ukiran ornamen sulur-sulur bunga. Secara bentuk, candi ini bisa dibilang cukup kokoh dan utuh. Mengingat kondisi candi ini dalam keadaan runtuh ketika pertama kali ditemukan. Candi ini pun mulai digali dan diteliti pada tahun 1940-an. Di sebelah utara candi, terdapat tembok batu sepanjang 65 m membujur dari barat ke timur. Reruntuhan candi perwara berupa stupa diperkirakan berdiameter sekitar 5 m. Di halaman candi juga ditemukan beberapa patung berbentuk lembu. Candi ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-9. Dan tentu saja, dari bentuk stupa dan relief-reliefnya, candi ini merupakan candi Budha. Candi utama bila dilihat sekilas berbentuk kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi sekitar 15 m.
Candi Sajiwan:


Candi Plaosan:
Candi Plaosan adalah sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu atau Candi Prambanan. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi tersebut adalah candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul.
Candi Plaosan Lor
Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di sebelah kiri (di sebelah utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang menggambarkan tokoh-tokoh wanita, dan candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamakan Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks terdapat masih selasar terbuka dengan beberapa arca buddhis. Kedua candi induk ini dikelilingi oleh 116 stupa perwara serta 50 buah candi perwara, juga parit buatan. Pada masing-masing candi induk terdapat 6 patung/arca Dhyani Boddhisatwa. Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara agama Buddha dan Hindu. Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan dipugar pada tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.
Candi Plaosan Kidul
Berbeda dari Candi Plaosan Lor, Candi Plaosan Kidul belum diketahui memiliki candi induk. Pada kompleks ini terdapat beberapa perwara berbentuk candi dan stupa. Sebagian di antara candi perwara telah dipugar. Candi Plaosan Kidul terdiri dari dua bangunan utama. Sebagian dari Kala Makara didekorasi dengan antefixe dan pintu masuk, yang dihiasi dengan motif tumbuh-tumbuhan.
Salah satu candi Budha kembar utama Plaosan Lor, di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah dari dinasti Sailendra abad ke-9 zaman Kerajaan Mataram Kuno. (Gambar: 1). Candi Plaosan Lor yang berada di sebelah timur-laut dari candi Prambanan. (Gambar: 2)
 Candi Plaosan Kidul. (Gambar: 3)
Candi Sewu:
Masih terdapat di Obyek Wisata Candi Prambanan, di ujung sebelah utara terdapat Candi Sewu. Candi Sewu ini jarang disinggahi wisatawan yang berkunjung ke Candi Prambanan karena jarak tempuh ke Candi Sewu ini sejauh 800 meter ini cukup melelakan bila ditempuh dengan berjalan kaki. Candi Sewu adalah candi buddha yang dibangun pada abad ke-8. Merupakan komplek candi Buddha terbesar kedua setelah candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada candi Prambanan. Sebenarnya hanya terdapat 257 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan Candi “Sewu” yang berarti “seribu” dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang. Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli bangunan ini adalah “Manjus’ri grha” (Rumah Manjusri). Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 – 784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama.
Suasana Candi Sewu tampak sepi pengunjung, cukup wajar mengingat wisatawan yang datang ke candi ini kebanyakan menggunakan kereta wisata yang berhenti sebentar untuk mengambil foto di luar kompleks candi. (Gambar: 1).
Memasuki gerbang masuk candi Sewu, disebelah kiri dan kanan terdapat Arca Dwarapala, yang merupakan raksasa penjaga candi. Kondisi arca masih terawat dengan baik walaupun ada beberapa bagian yang mengalami pelapukan.
Candi Bubrah:
Candi Bubrah adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara candi utama Roro Jonggrang dan candi Sewu. Dinamakan Bubrah karena memang keadaannya rusak (bubrah dalam bahasa Jawa) sejak pertama kali ditemukan. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan candi Sewu. Candi ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis batu andesit, dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat pertama kali ditemukan masih terdapat beberapa patung Buddha, walaupun tidak utuh lagi.
 Reruntuhan Candi Bubrah.
Candi Lumbung:
Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha) yang dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
Candi Asu:
Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, Kecamatan dukun, Kabupaten magelang, provinsi Jawa tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari Candi ngawen. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi
Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu 'anjing'. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk
setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata Candi prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat.
Perlu diketahui nama Asu pada candi ini bukan berasal dari kata asu dalam Bahasa Jawa ngoko yang berarti anjing. Kata asu adalah hasil perubahan kebiasaan pengucapan masyarakat setempat dari kata aso atau mengaso yang berarti istirahat. Candi Asu ini memiliki ukuran relatif kecil dibandingkan dengan Candi Borobudur ataupun Prambanan, dan berbentuk bujur sangkar. Di dekat candi itu juga ditemui Candi Pendem dan Candi Lumbung yang memiliki ukuran dan bentuk relatif sama. Uniknya di ketiga bangunan candi ini, di dalamnya terdapat lubang semacam sumur sedalam hampir dua meter dengan bentuk kotak berukuran sekitar 1,3 meter x 1,3 meter.
Menurut arkeolog Soekmono seperti dikutip dari buku Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, sumur itu digunakan sebagai tempat pemujaan. Pemujaan tersebut bisa ditujukan kepada seorang tokohtertentu atau arwah seorang raja. Masih menurut buku itu, berdasarkan Prasasti Kurambitan I dan II yang ditemukan dekat situs Candi Asu, ketiga candi ini didirikan tahun 869 Masehi. Kedua prasasti ini dikeluarkan Pamgat Tirutanu Pu Apus yang menyebut ketiga bangunan itu sebagai bangunan suci atau Salingsingan.
Yang menarik perhatian, hanya beberapa meter di selatan Candi Asu juga terdapat Sungai Tlingsing. Menurut buku Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, nama Tlingsing mungkin bisa berasal dari kata talingsing atau salingsing yang bisa diidentikkan dengan nama
Salingsingan. Namun yang pasti, berdiri di atas bangunan Candi Asu seperti melihat
permadani hijau. Sekeliling situs dipenuhi kebun sayur-sayuran. Suara alam berupa kicau burung pun memenuhi ruang sekitar candi. Namun, sumur di candi ini tidak seperti ditemui di Candi Pendem dan Asu yang kosong. Sumur di candi ini dipenuhi reruntuhan kubah candi.
Memang menurut Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, ketiga bangunan candi ini diperkirakan memiliki kubah. Meski kini pada Candi Pendem dan Asu, kubah itu sudah tidak terlihat lagi.
 Candi Asu. (Gambar: 1)
Candi Ngawen:  (Candi yang di buat oleh raja yang beragama Hindu, tapi diperuntukan untuk umat Budha).
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M. Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
 Candi Ngawen. (Gambar: 1)
Candi Mendut: (lebih tua dari Candi Borobudur. Ada cerita untuk anak-anak pada dinding-dindingnya).
Candi Mendut terletak 3 km ke arah timur dari Candi Borobudur, merupakan candi Budha yang dibangun tahun 824 Masehi oleh Raja Indera dari wangsa Syailendra. Di dalam Candi Mendut terdapat 3 (tiga) patung besar.
  1. Cakyamuni yang sedang duduk bersila dengan posisi tangan memutar roda dharma.
  2. Awalokiteswara sebagai Bodhi Satwa membantu umat manusia
    Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.
  3. Maitreya sebagai penyelamat manusia di masa depan
Ada cerita untuk anak-anak pada dinding-dindingnya. Candi ini sering dipergunakan untuk merayakan upacara Waisak setiap Mei pada malam bulan purnama dan dikunjungi para peziarah dari Indonesia maupun manca negara. Candi ini lebih tua dari Candi Borobudur. Arsitekturnya persegi empat dan mempunyai pintu masuk di atas tangganya. Atapnya juga persegi empat dan bertingkat-tingkat, ada stupa di atasnya.
Candi Pawon:
Candi Pawon terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai nama lain Candi Brajanalan ini lokasinya sekitar 2 km ke arah timur laut  dari Candi Barabudhur dan 1 km ke arah tenggara dari Candi Mendut. Letak Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Barabudhur yang berada pada satu garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya, kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari adanya keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat bahwa candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi  Barabudhur.
 
CANDI PENINGGALAN KERAJAAN MEDANG (DINASTI ISYANA)
Candi Lor (Anjuk Ladang),terletak di Brebek,Nganjuk:

Candi Lor merupakan bangunan candi yang terbuat dari batu bata merah yang diyakini sebagai monumen cikal bakal berdirinya kabupaten Nganjuk yang diperingati setiap tanggal 10 April setiap tahunnya. Dari prasasti Anjuk Ladang, diketahui bahwa Mpu Sindok, raja Mataram Hindu yang bergelar Sri Maharaja Sri Isyana Wikrama Dharmottunggadewa memerintahkan Rakai Hinu Sahasra, Rakai Baliswara serta Rakai Kanuruhan pada tahun 937 untuk membangun sebuah bangunan suci bernama Srijayamerta sebagai pertanda penetapan area Anjuk Ladang (sekarang disebut Nganjuk) sebagai area swatantra atas jasa warga Anjuk Ladang dalam peperangan. Pada areal candi Lor terdapat 2 makam abdi dalem kinasih mpu Sindok yang disebut eyang Kerto dan eyang Kerti, dan sebuah pohon Kepuh yang telah tumbuh sejak tahun 1866, diketahui dari tulisan Hoepermans.
Candi Gunung Gangsir, terletak di di Bangil:
Candi Gunung Gangsir terletak di Desa Gunung Gangsir Kecamatan Beji, sekitar 18 km dari kota Pasuruan. Candi ini sebenarnya bernama bernama Candi Keboncandi, namun karena letaknya di Desa Gunung Gangsir, maka masyarakat setempat menyebutnya Candi Gunung Gangsir.Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai candi yang konon dibangun pada masa pemerintahan Raja Airlangga, yaitu sekitar abat ke-11 M. Walaupun diperkirakan berasal dari masa yang lebih awal sebelum masa pemerintahan Singasari, Candi Gunung Gangsir dibangun menggunakan bahan batu bata, bukan batu andesit. Mengenai fungsi Candi Gunung Gangsir tidak didapatkan informasi yang jelas. Masyarakat setempat mempunyai versi tersendiri mengenai tujuan pembangunan candi ini. Menurut mereka, Candi Gunung Gangsir dibangun sebagai penghormatan kepada Nyi Sri Gati, yang dijuluki Mbok Randa Derma (janda murah hati), atas jasanya dalam membangun masyarakat pertanian di daerah itu.
Nyi Sri Gati merupakan tokoh dalam legenda masyarakat setempat. Pada zaman dahulu masyarakat di daerah itu belum mengenal kehidupan bercocok tanam. Mereka senang mengembara dan makanan utamanya adalah sebangsa rerumputan. Suatu saat, rerumputan yang menjadi makanan pokok mereka mulai menipis persediaannya. Pada saat itu datanglah seorang wanita, entah dari mana asalnya, bernama Nyi Sri Gati. Wanita itu mengajak para pengembara untuk berdoa, meminta petunjuk kepada Hyang Widi tentang bagaimana caranya mengatasi kekurangan pangan yang mereka alami. Tak lama kemudian datang serombongan burung sebangsa burung gelatik dengan membawa padi-padian, lalu menjatuhkannya di dekat para pengembara. Padi yang jatuh itu kemudian ditanam oleh Nyi Sri Gati. Beberapa bulan kemudian, tanaman Nyi Sri Gati sudah dapat dipanen. Nyi Sri Gati kemudian menumbuk hasil panennya untuk dijadikan beras, yang kemudian diolahnya menjadi nasi. Nyi Sri Gati kemudian mengajarkan cara bercocok tanam kepada para pengembara. Sejak saat itu, masyarakat pengembara tersebut menetap dan hidup dari bercocok tanam. Mereka menjadikan padi sebagai makanan pokoknya. Sebagian dari padi yang dijatuhkan burung tadi berubah menjadi permata yang membuat Nyi Sri Gati menjadi kaya raya.
Candi Gunung Gangsir belum pernah mengalami pemugaran secara menyeluruh. Walaupun secara keseluruhan bangunan Candi Gunung Gangsir masih megah berdiri, namun banyak bagian yang telah hancur. Konon candi ini mengalami kerusakan berat pada zaman penjajahan Jepang. Banyak hiasan pada dinding candi yang diambil oleh tentara Jepang untuk membiayai perang. Setelah Jepang berlalu, penduduk melakukan perbaikan sekedarnya tanpa didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang pemugaran candi. Beberapa potongan bata atau hiasan dinding terlihat sangat berbeda dengan tempatnya menempel. Sepertinya letak yang sebenarnya bukan di tempat tersebut. Kaki candi berbentuk segi empat dengan dengan ukuran sekitar 15 x 15 m2. Tinggi bangunan mencapai sekitar 15 m. Di dalam tubuh candi terdapat ruangan yang konon cukup luas, sehingga dapat menampung 50 orang. Pintu masuk ke ruangan tersebut terletak di sebelah barat, berjarak sekitar 5 m dari tanah. Untuk mencapai pintu terdapat tangga yang cukup lebar, yang menjorok jauh ke barat. Sayang sekali tangga tersebut telah hancur, sehingga sulit untuk ditapaki.
Pada dinding di sisi kanan dan kiri atas pintu terdapat relung yang terlihat seperti tempat meletakkan arca. Relung di sisi selatan sudah hancur, sementara yang di sisi utara masih tampak bekasnya. Saat ini atap candi berbentuk melengkung dengan ujung tumpul seperti puncak gunung. Bagian puncak atap sudah hancur, namun masih terlihat lapik penyangga puncak atap. Dari belakang, bangunan candi tampak seperti bukit kecil yang terbuat dari batu bata. Tidak terdapat relung-relung tempat meletakkan arca. Beberapa hiasan masih menempel pada dinding candi. Di kiri dan kanan puncak tangga terdapat hiasan berupa pahatan gambar wadah berhiaskan sulur-suluran dan gambar seorang wanita. Hiasan yang terbuat dari batu bata tersebut sangat halus, nyaris terlihat sebagai hasil cetakan, bukan pahatan.
Candi Songgoroti, terletak di Batu Malang:
Masa pembangunan Candi Songgoriti belum dapat diketahui dengan pasti, tetapi diduga candi ini berasal dari masa pemerintahan mPu Sindok, yakni masa perpindahan kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar abad IX – X masehi. Dilihat dari arsitekturnya candi Songgoriti ini mempunyai hiasan berlanggam Jawa Tengah. Bangunan candi terdiri dari kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Namun yang tersisa dan masih dapat dilihat sekarang adalah kaki candi dan sebagian tubuh candi yang terbuat dari batu andesit. Sedangkan pondasi candi terbuat dari batu bata. Ukuran candi hanya 14.36×10.00 m dan tinggi 2.44 m.
Pada tubuh candi terdapat relung-relung atau cerukan sebagai tempat untuk arca. Relung sebelah Timur merupakan tempat arca Ganesha, yang arcanya tinggal sebagian, yaitu bagian perut dan kaki. Relung sebelah Utara arcanya sudah hilang, sedangkan relung sebelah Barat, arcanya sudah tidak menempel lagi di relung, tetapi masih berada di lingkungan candi. Arca ini merupakan arca Agastya, yang dalam agama Hindu merupakan salah satu dari tujuh pendeta  yang menyebarkan agama Hindu di Asia Tenggara dan Jawa. Pada bagian tengah candi terdapat lubang sampai di dasar candi yang berisi air. Menurut beberapa catatan di internet, air di tengah candi ini merupakan sumber panas, tapi hasil pengamatan budayawan, suhu air di sana biasa saja dan berwarna bening. Akan tetapi pada sisi timur candi, sekitar 10 meter, memang terdapat sumber air panas yang berwarna kuning. Ini tandanya air tersebut mengandung belerang yang merupakan hasil dari aktivitas vulkanik. Menurut legenda setempat, dulu di lokasi candi ini merupakan kawah gunung berapi yang mengeluarkan air panas. Tidak ada orang yang berhasil menyumpal kawah ini. Hingga akhirnya datanglah empu Supa yang membangun candi di atas kawah itu. Kini kawah itu menjadi sumber air panas yang dialirkan menggunakan pipa-pipa besi ke kamar-kamar hotel.
Nama “Songgoriti” dalam bahasa jawa kuno berarti “timbunan logam” hal ini tentu masih ada hubungannya dengan nama desa Songgokerto yang berarti “timbunan kemakmuran.” Nama ini kemungkinan berkaitan dengan sebuah Prasasti yang ditemukan tak jauh dari situs candi yaitu Prasasti Sangguran atau Batu Minto bertarikh 850 Syaka atau 928 M, yang dikeluarkan atas perintah raja Wawa. Prasasti yang ditemukan di dukuh Ngandat, kota Batu ini, memberitakan bahwa raja dan Mahamantri I Hino Pu Sindok bernazar untuk menjadikan desa Sangguran sebagai wilayah watak Kanuruhan suatu perdikan dari Bhatara di suatu bangunan suci yang ada di daerah sima kanjurugusalyan di Mananjung. Yang menarik dari prasasti ini adalah disebutkannya sima khusus bagi para juru gusali, yaitu para pandai (logam). Ini sesuai dengan nama-nama desa di sekitar candi Songgoriti berada.
 
Candi Sumber Nanas, terletak di Blitar:
Candi Sumbernanas terletak di Dusun Rejoso, Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Letak Candi Sumbernanas berdekatan dengan Candi Kalicilik ± 2 km. Candi Sumbernanas pertama kali ditemukan pada tahun 1919, saat tanah di sekitar candi longsor akibat letusan Gunung Kelud. Keadaan bangunanya telah runtuh dan berantakan, hanya tersisa bagian pondasi candi. Oleh karena itu, masyarakat sekitar menyebut Candi Sumbernanas dengan sebutan Candi Bubrah (yang artinya berantakan). Sedangkan nama “Sumber Nanas” diberikan karena candi ini berada di areal pertanian dengan potensi tanaman nanasnya. Kapan didirikan dan siapa yang mandirikan Candi Sumbernanas masih belum dapat dipastikan karena tidak ada informasi tertulis mengenai candi ini. Namun menurut penuturan juru kunci Kekunaan Mleri, Candi Sumbernanas merupakan peninggalan dari dinasti Pu Sindok. Meskipun beberapa artikel yang berpendapat bahwa Candi Sumbernanas adalah peninggalan dari masa Hayam Wuruk, tapi kami tetap yakin bahwa candi ini berasal dari masa Pu Sindok. Sebab jika diperhatikan, sisa-sisa pondasi pada Candi Sumbernanas menunjukan kesamaan gaya dengan candi-candi pada era kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Perlu diketahui dan ditegaskan bahwa Pu Sindok adalah pendiri dinasti Isyana, dinasti yang merupakan perpindahan pusat pemerintahan Matram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Candi Belahan, dibangun oleh Raja Airlingga:
Airlangga turun tahta setelah pembelahan Kahuripan. Dua kerajaan baru yang berdiri di atas Kahuripan telah dipimpin oleh putra-putranya. Seperti adat leluhurnya, ia pun lengser keprabon madeg mandita (turun tahta dan hidup seperti pendeta). Dalam upayanya meninggalkan keduniawian ini ia memilih Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna. Selain meninggalkan tahta, ia juga menanggalkan gelarnya. Sebagai gantinya Airlangga menggunakan nama-nama yang menunjukkan kesiapannya menuju samsara. Di Daerah Gunung Penanggungan inilah Airlangga dikenal se bagai Resi Jatinindra dan di Gunung Arjuna ia memakai nama Bega wan Mintaraga. Selain itu Airlangga juga dikenal sebagai Resi Gentayu, sebua ungkap an yang berasal dari kata Jatayu (burung Garuda yang menye lamatkan Sintha dalam cerita epos Ramayana). Tujuh tahun kemudian (1049 M) Airlangga wafat. Jenazahnya diperabukan di Candi Belahan (Sumber Tetek) disana ia diarcakan sebagai Wisnu yang menunggang garuda. Arca itu di sebut Garudamukha.

CANDI PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Candi Muara Takus:
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan. Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam. Untuk itulah Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2009.
Candi Muara Takus adalah candi tertua di Sumatera barat yang terbuat dari semen yang di datangkan langsung dari padang, tanah pasir, dan batu bata sementara candi yang ada di Jawa terbuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat candi ini, khususnya tanah liat, diambil dari Desa Pongkai yang terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir kompleks Candi Muara Takus. Nama Pongkai berasal dari bahasa Cina Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, maksudnya adalah lubang tanah yang diakibatkan oleh penggalian untuk pembuatan candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian sekarang tidak dapat kita temukan lagi karena sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa serta Palangka. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Candi Gunung Tua:
Gunung Tua adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat pemerintahan (ibu kota) Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, Indonesia. Dahulu Gunungtua adalah sebuah kecamatan (bagian dari Tapanuli Selatan). Dan akhirnya pada tanggal 17 Juli 2007 Gunungtua disahkan sebagai Ibukota dari Kabupaten Padang Lawas Utara (yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Gunungtua sebagai pusat pemerintahan dari Kabupaten Padang Lawas Utara kini menuju kota yang lebih maju dan berkembang. Terbukti dengan laju pembangunan yang terjadi di Gunungtua yang semakin bertambah. Kabupaten Padang Lawas Utara mempunyai banyak potensi pariwisata yang nantinya bisa menjadi potensi Pendapatan Daerah yang begitu memungkinkan meningkatkan pendapatan daerah. Seperti, Candi Bahal di Kecamatan Portibi, Tugu Perjuangan di Pusat Pasar Gunungtua, Pemandian air panas di Pangirkiran, Tugu Perjuangan di Sigama, dan masih banyak lagi. Jika seandainya pemerintah setempat mau menggali potensi yang begitu besar itu. Masyarakat Padang Lawas Utara pasti akan lebih makmur.
Candi Bairi Bahal:
Lokasi candi Bahal berada di Desa Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara. Di Desa Bahal, Kecamatan Padang Botak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, terdapat Candi Bahal. candi Hindu. Kompleks Candi Bahal terdiri dari tiga buah candi, yang masing-masing terpisah dengan jarak sekitar 500 meter. Candi Bahal lokasinya berada di tengah persawahan yang sangat luas. Penduduk setempat sering menyebut kompleks Candi Bahal dengan nama Candi Padang Lawas atau 'candi di padang Iuas'. Nama lain kompleks Candi Bahal adalah Candi Portibi. Keberadaan batu keras hanya digunakan untuk membuat arca. Misalnya, di depan Candi Bahal-I terdapat sebuah Arca Ganesha yang berbadan kurus dari batu. Sampai kini arca batu tersebut masih utuh.

Bahal-I

Pemugaran Candi Bahal-I selesai 16 Desember 1997 dan diresmikan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar.



Bahal-II

Candi Bahal-II diresmikan 18 November 1995 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan prof. Dr. Wardiman Djojo Negoro.
Bahal-III

Candi Bahal-III dipugar sejak tahun 1996.

CANDI PENINGGALAN KERAJAAN SINGASARI
Candi Kidal, terletak di Malang:
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring. Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana. Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
Keistimewaan Candi kidal
Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil. Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
 
Candi Jawi, terletak di dekat Pringen:
Candi Jawi adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu - Buddha Kerajaan Singhasari di kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.
Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja. Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina (sebuah upacara penghormatan terhadap seorang dewa, disebut Dewayadnya atau dewayajña), karena biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari ajaran Buddha.
  
Candi Singasari, terletak di Malang:
Salah satu peninggalan bersejarah di Malang Malang adalah candi Singosari. Dikenal juga dengan candi Kendedes, dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singasari yang meninggal tahun 1292. Candi Singasari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512m dari permukaan laut. Candi Singosari Didirikan tahun 1300 bersamaan dengan diselenggarakannya upacara shrada ditempat ini. Ciri khas candi singasari adalah dua arca raksasa Dwarapala, yang diyakini sebagai penjaga istana.

Candi Jago, terletak di Malang:
Nama Candi Jago diambil dari kata Jajaghu, didirikan pada masa Kerajaan Singhasari di abad ke-13. Lokasi candi ini sangat mudah dikunjungi, dikarenakan terletak didalam kota Tumpang.  tepatnya di jalan Wisnu wardana Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang,bersebelahan dengan Sekolahan SD, Masjid Tumpang, Pasar dan Terminal Tumpang.  Berjarak kurang lebih 16 Km dari pertigaan Blimbing,  atau sekitar 20 km dari  Terminal Arjosari – Kota Malang. Dapat di jangkau  dengan mengunakan berbagai macam kendaraan bermotor pribadi,  atau dapat juga menggunakan angkutan kota/taksi. Dari terminal Arjosari-Malang. Candi Jajaghu alias Jago yang telah menjadi tempat pendarmaan Prabu Wisnuwardhana. Ditemukan pada tahun 1834 oleh Belanda, waktu itu konon ditumbuhi pohon beringin, dan kemudian direstorasi ulang pada tahun 1890an. Ada tiga bagian candi yang mempunyai cerita berbeda-beda.
Bagian paling atas menceritakan Ramayana.
Bagian tengah mengisahkan Mahabarata.
Bagian bawah menceritakan tentang Kunjarakarna.
 
CANDI PENINGGALAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Candi Simping:
Majapahit menyimpan misteri, Majapahit mengandung sejuta rahasia, Majapahit memunculkan kontroversi, Majapahit melahirkan banyak penyesatan, Majapahit menuntut sikap teliti dan hati-hatian. Tersebutlah Candi Simping atau Candi Sumberjati, yang terletak di Desa Sumberjati, di daerah Blitar, Jawa Timur. Kitab Negarakertagama di dalam pupuh XLVII/3 menjelaskan tentang candi ini demikian : ".. Tahun Saka mengitari tiga bulan (1231 S), Sang Prabu (Nararya Sanggramawijaya / Kertarajasa Jayawarddhana) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa".
Apa yang diistilahkan sebagai arca Siwa oleh penggubah Negarakertagama (Prapanca) kiranya dapat diperbaiki sebagai arca Harihara, suatu sinkretisme antara Hindu dan Budha, sebagai keyakinan yang dianut oleh Sanggramawijaya sendiri.
Kitab Negarakertagama dalam pupuh LXI/4 menceritakan upaya perbaikan yang dilakukan oleh Prabhu Hayam Wuruk terhadap kerusakan-kerusakan yang terjadi pada candi Simping ini demikian : " ...Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping, ingin memperbaiki candi makam leluhur, menaranya rusak, dilihat miring ke Barat, perlu ditegakkan kembali agak ke Timur". Sementara itu di dalam pupuh LXII/1 diceritakan hal yang demikian : " ...Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti yang dibaca lagi, diukur panjang lebarnya ; di sebelah Timur sudah ada tugu, asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam, untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara".
Dari uraian kedua pupuh tersebut dapatlah kita ketahui bahwa candi Simping ini pernah mengalami perbaikan atau pemugaran pada jaman pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk dengan mengambil denah asrama Gurung-gurung sebagai denah candi makam artinya asrama Gurung-gurung dipergunakan sebagai acuan dalam melaksanakan upaya pemugaran candi Simping ini. Satu hal yang terpenting untuk kita cermati adalah bahwa candi Simping atau candi Sumberjati ini adalah candi makam Kertarajasa Jayawardhana (Nararya Sanggramawijaya), pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Majapahit.
Foto-foto di bawah ini memperlihatkan reruntuhan candi Simping berikut beberapa relief-relief serta peninggalan berupa yoni bergambar bulus.







Candi Rimbi, terletak di Mojokerto:
Candi Rimbi merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit. Candi ini terletak di Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur.
Deskripsi Bangunan
Candi Rimbi dibangun dengan menggunakan bahan batuan andesit dan batu bata. Candi ini memunyai panjang sekitar 13,24 meter, lebar 9,10 meter, dan tinggi 12 meter. Candi Rimbi sendiri menempati areal seluas 896,56 meter persegi. Denah Candi Rimbi adalah persegi empat, terdiri dari batur (alas candi), kaki, dan badan candi. Sebagian besar badan candi telah runtuh. Dinding badan candi yang tersisa hanya dinding sisi utara. Badan candi yang seolah terkoyak itu masih berdiri tegak di antara reruntuhan batu andesit yang berada di sekitarnya. Separuh lebih dari tubuh dan atap candi telah hancur, seolah teriris secara vertikal, namun bagian kaki masih dapat dikatakan utuh. Dengan kondisi seperti itu, sulit diketahui seperti apa sebenarnya bentuk badan dan atap candi. Meski demikian, kaki candi tampak masih utuh. Kaki candi seperti bersusun dua, terbagi oleh pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang terletak di atas pelipit agak menjorok ke dalam sehingga ukurannya menjadi kebih kecil dibandingkan dengan kaki bagian bawah. Arca-arca Hindu cukup banyak ditemukan di halaman candi. Sayangnya, arca-arca itu sudah tidak berada dalam kondisi utuh, bahkan beberapa di antaranya menyisakan potongan anggota badannya saja. Di halaman candi terdapat reruntuhan batu. Di antaranya ada sebuah lapik bekas untuk menempatkan arca. Pada lapik itu hanya tersisa telapak kaki arca.
Sebuah hiasan kala dengan ukuran agak besar, tergeletak di salah satu sudut halaman candi. Diperkirakan, batu ini dulunya digunakan untuk menghiasi pintu masuk ke ruangan (bilik) candi. Suatu hal yang lazim terdapat pada candi-candi Hindu lainnya di Jawa Timur. Candi Rimbi juga sering disebut juga Cungkup Pulo. Nama Rimbi dikaitkan dengan nama tokoh pewayangan bernama Arimbi, istri Werkudoro (Bima). Tubuh candi juga lebih kecil dibandingkan dengan bagian kakinya, sehingga terlihat seperti terdapat selasar yang mengelilinginya. Akan tetapi saat ini, sebagaimana halnya sebagian atap dan tubuh candi, tangga naik ke selasar juga sudah runtuh, sehingga hanya selasar di sisi selatan yang dapat terlihat dari bawah. Pada kaki bagian atas maupun dinding luar tubuh candi yang masih tersisa, tidak tampak adanya pahatan. Akan tetapi, di seputar kaki candi bagian bawah dipenuhi oleh jajaran panel-panel relief cerita-cerita binatang. Relief yang dipahat dengan teknik datar (gaya wayang kulit) yang sangat indah dan halus tersebut dapat dikatakan masih utuh. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi utara. Antara kaki bagian atas dengan tubuh candi dibatasi oleh pelipit dengan hiasan yang menonjol keluar di setiap sudutnya. Pada bagian kaki candi masih bisa ditemukan berbagai relief yang berisi ajaran Tantri, menggambarkan manusia dan hewan. Sayang, hingga sekarang belum bisa diketahui isi cerita yang coba digambarkan melalui relief-relief tersebut. Namun, sebagian dari panel relief diduga menggambarkan cerita Garudeya.

Candi Surawana, terletak di Kediri:
Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Ukuran Candi Surawana tidak terlalu besar, hanya 8 X 8 m2. Candi yang seluruhnya dibangun menggunakan batu andesit ini merupakan candi Syiwa. Saat ini seluruh tubuh dan atap candi telah hancur tak bersisa. Hanya kaki candi setinggi sekitar 3 m yang masih tegak di tempatnya. Untuk naik ke selasar di atas kaki candi terdapat tangga sempit yang terletak di sisi barat. Menilik letak tangga, dapat disimpulkan bahwa candi ini menghadap ke barat. Seperti yang terdapat di Candi Rimbi, kaki Candi Surawana tampak seperti bersusun dua, terbagi oleh pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang terletak di atas pelipit agak menjorok ke dalam sehingga ukurannya menjadi kebih kecil dibandingkan dengan kaki bagian bawah.
 

Candi Tigawangi, terletak di Pare:
Secara historis, akhir abad ke-10 telah terjadi perubahan besar di pulau Jawa, dengan memudarnya gravitasi kebudayaan di Jawa Tengah dan telah bangkitnya sinar baru atau zaman baru di Jawa Timur. Zaman baru ini telah membawa perubahan-perubahan besar terhadap kebudayaan di pulau Jawa, yaitu ditandai dengan semakin kuatnya anasir-anasir kepercayaan ‘asli’ muncul dalam proses kebudayaan di Jawa. Walaupun budaya India tetap menjadi unsur utama dalam wujud kebudayaan pada masa Jawa Timur. Unsur asli Jawa ini sebenarnya sudah muncul sejak kebudayaan India bersentuhan dengan kebudayaan Jawa pada masa Jawa Tengah, seperti yang disampaikan oleh Rabrindranath Tagore, ketika berkunjung ke Indonesia pada tahun 1927, “Saya melihat India di mana saja, tetapi saya tidak mengenalnya” (Holt, 2000: 73). Artinya bahwa kebudayaan ‘asli’ Jawa sangat kuat mempengaruhi kebudayaan yang datang dari India, sehingga Tagore melihat perbedaan-perbedaan yang signifikan antara representasi produk budaya Hindu-Budha yang ada di India dengan di tanah Jawa.
Sebagai bagian dari perjalanan sejarah kerajaan Majapahit, salah satu peninggalannya adalah bangunan Candi Tigawangi. Kenapa candi ini menjadi menarik, hal ini disampaikan oleh Soekmono dalam bukunya Kartodirdjo (1993: 70), yang menyatakan bahwa menarik perhatian ialah bahwa Candi Tigawangi di daerah Kediri tidak tercantum sebagai dharma haji, padahal Negarakrtagama sendiri pada pupuh 82 menyatakan bahwa Curabhana adalah dharma Raja Wengker dan Tigawangi adalah dharma Raja Matahun dengan nama resminya Kusumapura. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Bhre Matahun mokta dhinarma ring Tigawangi dharmadhiseka ring Kusumapura. Dalam kitab Negarakrtagama, bangunan-bangunan suci diklasifikasikan menjadi beberapa golongan. Bangunan suci jenis pertama adalah dharma haji, yang jumlahnya 27 dan menjadi tanggung jawab seorang dharmadhyaksa. Jenis kedua adalah dharmalepas pratistha Ciwa yang terdiri dari 9 kuti balay, 5 parhyang, 4 prasada haji dan 20 sphatikeyang, yang kesemuanya menjadi tanggung jawab seorang caiwadhyaksa atau dharmadhyaksa ring kacaiwan. Jenis ketiga adalah dharma kasogatan yang terdiri atas 43 kawinayan dan 50 kabajradaran. Penanggungjawabnya adalah bodhadhyaksa atau dharmadhyaksa ring kasogatan. Jenis keempat adalah karesyan, yang jumlahnya hanya 7 dan diawasi oleh seorang mantra ber-haji (Soekmono: 1993: 70). Membaca dari keterangan-keterangan tersebut, menjadi janggal apabila Candi Tigawangi tidak dimasukan sebagai dharma haji atau suatu bangunan suci, sampai sekarang misteri itu belum terjawab.
 
Candi Kalicilik, terletak di Blitar:
Candi Kalicilik terletak di Dusun Kalicilik, Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Lokasi candi ini cukup mudah untuk dijangkau. Candi Kalicilik merupakan peninggalan dari Kerajaan Singosari untuk pendharmaan Ken Arok. Keterangan ini diperkuat oleh bentuk bangunan Candi Kalicilik yang memang menunjukan gaya arsitektur dari era Kerajaan Singosari. Namun berberapa artikel dari berbagai website, berpendapat bahwa Candi Kalicilik merupakan peninggalan dari era Majapahit. Pendapat tersebut didasari oleh temuan fragmen yang menggambarkan surya. Seperti kita ketahui bahwa lambang Kerajaan Majapahit adalah surya Majapahit. Di bagian depan batu ambang yang terletak di atas pintu masuk Candi Kalicilik terpahat angka tahun 1271 Saka atau 1349 M, jadi bangunan ini berasal dari masa Majapahit. Dahulu sekitar awal abad ke-19 bangunan kuno ini disebut dengan Candi Genengan, yang mungkin merupakan nama asli bangunan itu. Hal yang menarik adalah mungkin saja Kagenengan tempat pendharmaan Ken Arok itu adalah Candi Kalicilik sekarang, sedangkan angka tahun yang menunjuk masa Majapahit tersebut, bisa saja angka tahun peringatan terhadap perbaikan atau pemugaran dari bangunan yang telah ada sebelumnya dari masa Singosari. Seperti yang tertulis dalam Kitab Negarakertagama bahwa Ken Arok didharmakan di dua tempat, yakni di Kagnangan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha. Kagnangan sendiri tercatat sebagai salah satu dari 27 percandian dalam Negarakertagama. Selain kemiripan nama antara Genengan dengan Kagnangan, ciri-ciri Candi Kalicilik juga menunjukkan ciri siwaistis seperti yang tertulis dalam Negarakertagama, yakni dengan pernah ditemukannya arca Agastya (Siwa Maha Dewa) di area candi ini.
Candi Jabung:
Candi Jabung adalah salah satu candi buddha peninggalan kerajaan Majapahit. Candi buddha ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja. Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.
Candi Jabung berdiri di sebidang tanah berukuran 35 meter x 40 meter. Pemugaran secara fisik pada tahun 1983-1987, penataan lingkungan luasnya bertambah 20,042 meter persegi dan terletak pada ketinggian 8 meter diatas permukaan air laut. Situs terdiri dari dua bangunan utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu bangunan kecil dan biasa disebut "Candi Sudut". Yang menarik adalah material bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah berkualitas tinggi yang diukir untuk membentuk relief. Bangunan terbuat dari batu bata dan ukuran candi Jabung adalah panjang 13,13 meter, lebar 9,60 meter dan tinggi 16,20 meter. Candi Jabung menghadap ke arah Barat, pada sisi barat menjorok ke depan, merupakan bekas susunan tangga naik memasuki Candi. Disebelah Barat Daya halaman candi terdapat bangunan candi kecil. Menara sudut di perkirakan penjuru pagar, fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk Candi Jabung. Candi Menara sudut terbuat dari bahan batu bata, bangunan candi tersebut berukuran tiap-tiap sisi 2,55 meter, tinggi 6 meter.
Arsitektur Candi Jabung sangat menarik, terdiri atas bagian batur, kaki, tubuh dan atap, pada bagian tubuh bentuknya bulat (silinder segi delapan ) berdiri diatas bagian kaki candi yang betingkat tiga berbentuk persegi. Sedangkan pada bagian atapnya dagoda (stupa) tetapi pada bagian puncak sudah runtuh dan atapnya berhias motif sulur-suluran. Di dalam bilik candi terdapat lapik arca, berdasarkan inskripsi pada gawang pintu masuk candi Jabung didirikan tahun 1276 saka (1354 Masehi) pada masa awal pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Candi terdiri dari empat bagian, dari bagian terbawah; bagian batur, kaki, tubuh, dan atap candi.
 

Candi Pari, terletak di Porong:
Candi Pari terletak di Dusun Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Berdiri diatas tanah seluas 1.310 m2 pada ketinggian ± 4,42 m dari permukaan laut. Lokasi Cadi Pari di kelilingi oleh pemukiman penduduk. Latar Belakang Sejarah :
Penelitian dan publikasi sejarah tentang Candi Pari baik berupa tulisan maupun foto sudah lama diterbitkan oleh sarjana-sarjana Belanda :
1.      Hageman di dalam TBG II tahun 1854.
2.      P. J. Veth, Java tahun 1878.
3.      JLA. Brandes. ROC tahun 1903.
4.      J. Knebel, ROC tahun 1905 / 1906.
5.      FDK Bosh. ROD tahun 1915.
6.      Verbek mengadakan inventaris tahun 1889 — 1891.
7.      NJ Krom dalam buku inlejding tot de Hindoe — Java asch Kunst 1923

Latar Belakang cerita rakyat :
Candi Pari oleh masyarakat dilambangkan dengan dongeng sebagai peringatan hilangnya Joko Pandelegan.
Pendirian Candi Pari
Di atas pintu candi pari di pahatkan angka tahun 1293 Saka (1371 M) dengan demikian Candi Pari didirikan pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah Pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Adapun ciri-ciri Campa pada hubungan Candi Pari justru menunjukkan tingginya toleransi di bidang kebudayaan pada waktu itu.
Latar Belakang Keagamaan
Di dalam ROD tahun 1915 disebutkan bahwa di dekat Candi Pari dan desa sekitarnya pernah di temukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganessa dan 3 arca Budha, yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta. Latar belakang keagamaan Candi Pari bersifat Hindu. Hal ini ditunjukkan adanya relief Sankhadi Candi Pari yang merupakan atribut dalam agama Hindu.
Arsitektur Bangunan :
Candi Pari dibangun menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 13,55 m, lebar 13,40 m dan tinggi 13,80 m. Terbuat dari batu bata, sedangkan ombang atas dan bawah pintu masuk bilik Candi menggunakan batu Andesit. Secara arsitektural Candi Pari mempunyai perbedaan dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur. Perbedaan ini nampak pada bentuk fisik Candi Pari yang agak tambun dan tampak kokoh seperti Candi-candi di Jawa Tengah. Sedangkan Candi di Jawa Timur berbentuk ramping.

Candi Tikus, terletak di Mojokerto:
Candi Tikus ini terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto juga, jadi kira-kira 2 km dari Pusat Informasi Majapahit (PIM). Seperti wisata-wisata candi yang lain, di tempat ini tampaknya juga sepi pengunjung, hanya ada beberapa kelompok pengunjung yang rata-rata masih remaja dan ada beberapa ada anak-anak. Menurut ceritanya, candi ini ditemukan pada tahun 1914, oleh penduduk sekitar secara tidak sengaja, sebab menurut cerita penemuannya dulunya merupakan gu dukan tanah dan tempat pemakaman penduduk sekitar. Pada waktu itu didaerah tersebut diserang hama tikus, yang mengakibatkan penduduk sawahnya banyak yang gagal panen, maka secara mufakat penduduk setempat mengadakan pencarian sarang tikus, dan dalam pencarian sarang tikus itu ditemukan terminatur candi, kemudian oleh penduduk penemuan ini dilaporkan kepada Bupati Mojokerto waktu itu yaitu ; R.A. Kromodjojo Adinegoro dan atas ijin Dinas Kepurbakalaan dan pada tahun 1916 pemugaran selesai yang menampakkan seluruh bangunan candi.
Mengenai fungsi candi tersebut bekum banyak diketahui secara pasti, tetapi menurut bentuknya bangunan ini merupakan bangunan pemandian suci, jika kita melihat lebih dekat candi ini mirip dengan gunung Mahameru yang ada di India, maka memberi kesan bahwa bangunan ini merupakan tempat suci, seperti kesucian Mahameru tersebut. Pada masa pemerintahan Belanda candi ini pernah dipugar, tetapi tidak ada laporannya secara rinci, tetapi banyak bukti antara lain, pemasangan kembali menara induk dan pembuatan gorong-gorong. an pada tahun 1984/1985 sampai dengan tahun 1988/1989 dipugar kembali oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, dengan diperluas area candi terseut, dan pemugaran dinyatakan selesai dan diresmikan pada tanggal 21-9-1989 oleh Dirjenhub Dept. Pendidikan dan Kebudayaan dengan hasil seperti yang sekarang kita lihat.
 
Bangunan ini merupakan bangunan bujur sangkar dengan ukuran 22,5 m X 22,5 m dan terletak dikedalaman 3,5 m dari permukaan tanah.

Candi Brahu, terletak di Mojokerto:
Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat jalan masuk ke arah utara yang agak sempit namun telah diaspal. Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8 km dari jalan raya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan. Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan' yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah raja-raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
Di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri ajaran Buddha, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Candi Brahu merupakan candi Buddha. Walaupun tak satupun arca Buddha yang didapati di sana, namun gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi menguatkan dugaan bahwa Candi Brahu memang merupakan candi Buddha. Diperkirakan candi ini didirikan pada abad 15 M. Candi ini menghadap ke arah Barat, berdenah dasar persegi panjang seluas 18 x 22,5 m dan dengan tinggi yang tersisa sampai sekarang mencapai sekitar 20 m. Sebagaimana umumnya bangunan purbakala lain yang diketemukan di Trowulan, Candi Brahu juga terbuat dari bata merah. Akan tetapi, berbeda dengan candi yang lain, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.
Candi Panataran, terletak di Blitar:
Sejak semula Candi Penataran diperuntukkan sebagai media pemujaan. Informasi tertua berkenaan dengan itu didapati dalam Prasasti Palah bertarikh Saka 1119 (1197 M). Prasasti yang dikeluarkan atas perintah dari raja Kadiri terakhir, yakni Srengga (Kretajaya), berisi penetapan Desa (Thani) Palah sebagai swatantra (sima, perdikan. Status perdikan dari desa Palah berlanjut hingga masa Majapahit) bagi tempat pemujaan kepada Sira Paduka Bhattara Palah. Sebutan “Palah” kembali dijumpai dalam kakawin Nagarakretagama (LXI/2), yang memberitakan bahwa pada tahun Saka 1283 (1361 Masehi) bulan Wesaka (April - Mei) Baginda Raja [Hayam Wuruk] memuja ke Palah dengan para pengiringnya, berlarut-larut setiap yang indah dikunjunginya untuk menghibur hati, di Lawang Wentar, Manguri, Balitar dan Jimbe. Dari Balitar perjalanan diteruskan ke selatan hingga tiba di Lodaya, kemudian menjelajah laut menyisir pantai.  Bagian lain dari kakawin ini (pupuh XVII/5) menyatakan bahwa setiap tahun setelah musim dingin, Baginda keliling bercengkerama di Desa Sima (selatan Jalagiri, sebelah timur istana), ke Wewe Pikatan di Candi Lima. Bila tidak demikian pergi ke Palah untuk memuja Hyang Acalapati, bisa juga terus ke Balitar dan Jimur mengunjungi bukit-bukit permai. Perihal “Palah” sebagai desa perdikan (sima) juga dinyatakan dalam pipuh LXXII/2), yaitu sebagai desa perdikan para penganut Siwa. Dengan demikian, Nagarakretagama menyebut “Palah” hingga tiga kali, dan sekali menyebut “Hyang Acalapati” sebagai dewata yang dipuja di Palah.

Kunjungan Hayam Wuruk ke Palah pada tahun 1361 dan pada setiap tahun seusai musim dingin (penghujan) memberi cukup bukti bahwa Candi Palah (nama akrkhais dari Candi Penataran) tentulah menduduki tempat penting dalam kerajaan Majapahit. Kendati tidak termasuk dalam kategori dharmahaji ataupun prasada haji, namun tidak diragukan bila Penataran adalah candi nagara (candi kerajaan) Majapahit.

Candi Sukuh, terletak di Karanganyar:
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995. Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928. Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Bila menggunakan Wikimapia. Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
 

CANDI PENINGGALAN KERAJAAN KANJURUHAN

Candi Badut, terletak di Malang:
Badut tidaklah selalu identik dengan jenaka atau hal-hal lucu lainnya. Badut bisa berarti merupakan nama sebuah candi di Kecamatan Karangbesuki, Kotamadya Malang. Kata Badut sendiri berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca tidak nyata dari Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakal dan Nadiswara. Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Relung timur terdapat arca Ganesha. Dan disebelah Selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa.
Dilihat bentuknya, Candi Badut mirip dengan candi-candi di Jawa Tengah periode abad ke 8 hingga ke 10 terutama dikawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedongsongo. Bahan Candi terbuat dari batu andesit. Kaki candi polos tidak berhias. Pintu masuk diberi penampil. Kalamakara yang menghias bagian atas pintu tidak memakai rahang bawah.
Candi Badut dulunya dikelilingi oleh tembok yang sekarang sudah hilang. Beberapa runtuhan candi masih tampak berserakan disana-sini yang tentunya merupakan bagian tertentu dari candi yang hingga sekarang belum bisa dipastikan bagaiman bentuk asalnya. Sebuah tangga yang diapit oleh pipi tangga dihiasi ukiran kinarakinari (mahluk surga berbadan burung berkepala manusia yang bertugas memainkan musik surgawi). Bidang hias disamping relun-relung candi dihias dengan pola bunga. Atapnya runtuh. Dihadapan pintu masuk terdapat alas candi perwara yang lebih kecil sebanyak tiga buah. Di halaman candi sebelah Utara dan Selatan terdapat dua buah batu berbentuk kubus dengan sebuah lubang persegi empat.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.


CANDI PENINGGALAN KERAJAAN BALI

Candi Gunung Kawi, terletak di Tampaksiring:

Mendengar kata “Gunung Kawi” barangkali ingatan kita akan melayang ke sebuah gunung cukup kesohor di Jawa Timur yang sering dijadikan tempat pesugihan untuk mencari kekayaan. Iya, Gunung Kawi yang terletak di dekat Gunung Butak tersebut terkenal sampai ke seantero negeri ini. Namun, bukan Gunung Kawi itu yang dimaksud melainkan Candi Gunung Kawi yang terletak di Tampaksiring, Bali. Siapa yang tak mengenal Bali, kota sejuta wisata dan merupakan sumbernya keindahan yang sangat terkenal sampai ke mancanegara. Candi Gunung Kawi merupakan bukti bahwa keindahan Bali tak hanya terletak pada alamnya yang menawan dan asri, namun pada peninggalan sejarahnya yang juga kental. Adalah Candi Gunung Kawi inilah yang bisa dijadikan lokasi wisata sejarah yang layak untuk dikunjungi.
Tak ada yang tahu pasti mengenai asal mula kata “Gunung Kawi”. Namun, berdasarkan tinjauan etimologi, Gunung Kawi berasal dari dua gabungan kata yakni “Gunung” dan “Kawi”. Gunung berarti daerah yang berumpak-umpak dan memiliki puncak diatasnya (pegunungan), dan Kawi bermakna pahatan. Maka, maksud dari kata “Gunung Kawi” adalah pahatan-pahatan yang terdapat di pegunungan atau padas pahatan. Candi Gunung Kawi merupakan peninggalan sejarah abad ke-11 dimana di kompleks candi tersebut terdapat pemakaman keluarga raja, permaisuri dan keturunannya yang pernah memerintah di wilayah Bali. Raja Udayana merupakan yang paling terkenal di Bali dan berasal dari Dinasti Warmadewa. Beliau menikah dengan seorang puteri raja dari Kerajaan Kediri bernama Gunapriya Dharma Patni, yang kemudian dikaruniai dua orang anak yaitu Erlangga dan Anak Wungsu. Setelah Raja Udayana turun tahta, Anak Wungsu pun tampil menggantikan ayahnya yang terjadi antara tahun 1049-1077. Setelah meninggal, abu jenazahnya kemudian disimpan dalam salah satu candi di sekitar kompleks Candi Gunung Kawi. Makanya tak heran kalau candi ini sangat dijaga kelestariannya karena menyimpan nilai sejarah dan seni yang tak terhitung harganya. Tepat di sebelah tenggara kompleks candi ini terdapat sebuah wihara yang dijadikan sebagai tempat tinggal pendeta Budha atau Bhiku. Peninggalan candi dan wihara ini bisa ditafsirkan sebagai penghargaan atas keragaman agama dan budaya yang sudah ada di Bali sejak dahulu kala. Sehingga dengan berkunjung ke Candi Gunung Kawi kita dapat belajar mengenai sejarah, kebudayaan, dan sekaligus menikmati keindahan alam di sekitar kompleks candi yang dijamin menawan.












PETA PELAYARAN AGAMA HINDU BUDDHA
Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia.
Untuk lebih jelasnya, silahkan Anda amati gambar peta jaringan perdagangan laut Asia Tenggara berikut ini:


Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu – Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli memberikan pendapat







1 komentar: